Selasa, 27 Januari 2009

QANUN DAN SYARI’AH DALAM SISTEM HUKUM DI SAUDI ARABIA

QANUN DAN SYARI’AH DALAM SISTEM HUKUM DI SAUDI ARABIA Oleh: Asep Awalluddin A. Pendahuluan Sejarah panjang yang dilalui Saudi Arabia dimulai ketika suku bangsa Semit tinggal di semenanjung Arab sejak ribuan tahun silam. Suku Badui umumnya tinggal di pedalaman, dan beberapa suku lain tinggal di sepanjang jalur lalu lintas kafilah yang secara berkala melintasi padang pasir. Sejarah mencatat bahwa kota Mekah dan sekitarnya sebagai tempat transit pada jalur perdagangan membawa negeri tersebut ke tingkat ekonomi yang baik sebelum lahirnya Nabi Muhammad SAW. Peran bangsa Arab semakin penting dalam percaturan dunia sesudah Nabi Muhammad SAW mengembangkan agama Islam. Setelah 13 tahun mengembangkan Islam di Mekah, Nabi Muhammad SAW bersama pengikutnya hijrah ke Madinah dan membangun sebuah Negara muslim dan melahirkan Piagam Madinah, konstitusi pertama dalam sejarah kemanusiaan, yang selalu menjadi acuan bagi Negara muslim hingga kini. Saudi Arabia atau yang juga dikenal dengan sebutan Arab Saudi, adalah merupakan negara Arab yang terletak di Jazirah Arab. Beriklim gurun dan wilayahnya sebagian besar terdiri atas gurun pasir dengan gurun pasir yang terbesar adalah Rub Al- Khali. Orang Arab menyebut kata gurun pasir dengan kata sahara. B. Kondisi Geografis Saudi Arabia Pada masa dahulu daerah Arab Saudi dikenal menjadi dua bagian yaitu daerah Hijaz dan gurun Najd. Hijaz adalah daerah pesisir barat Semenanjung Arab yang di dalamnya terdapat kota-kota di antaranya adalah Mekkah, Madinah dan Jeddah, sedangkan gurun Najd yaitu daerah-daerah gurun sampai pesisir timur semenanjung arabia yang umumnya dihuni oleh suku-suku lokal Arab (Badui) dan kabilah-kabilah Arab lainnya. Pada masa awal tumbuh dan berkembangnya Islam. Wilayah ini memiliki pusat pemerintahan di Madinah dari sejak Nabi Muhammad sampai masa khalifah Utsman bin Affan. Sejak masa khalifah Ali bin Abi Thalib pusat pemerintahan dipindahkan ke Kufah di Irak sekarang, kemudian berturut turut menjadi bagian wilayah Daulah Ummayyah, Abbasiyyah dan Utsmaniyah Turki. Arab Saudi terletak di antara 15°LU - 32°LU dan antara 34°BT - 57°BT. Luas kawasannya adalah 2.240.000 km². dengan jumlah penduduk sebanyak 27.019.731 jiwa (sensus 2006). Arab Saudi merangkumi empat perlima kawasan di Semenanjung Arab dan merupakan negara terbesar di Asia Timur Tengah. Permukaan terendah di sini ialah di Teluk Persia pada 0 m dan Jabal Sauda' pada 3.133 m. Arab Saudi terkenal sebagai sebuah negara yang datar dan mempunyai banyak kawasan gurun. Gurun yang terkenal ialah di sebelah selatan Arab Saudi yang dijuluki "Daerah Kosong" (Rub al Khali), kawasan gurun terluas di dunia. Namun demikian di bagian barat dayanya, terdapat kawasan pegunungan yang berumput dan hijau. Secara geografis, Negara Arab digambarkan seperti empat persegi panjang yang berakhir di Asia Selatan. Negara Arab dikelilingi berbagai Negara; sebelahutara oleh Syiria, sebelah timur oleh Nejd, sebelah selatan oleh Yaman dan sebelah barat oleh Laut Erit. Semenanjung Arab merupakan semenanjung barat daya Asia, sebuah semenanjung terbesar dalam peta dunia. Dari sisi kondisi cuaca, Semenanjung Arab merupakan salah satu wilayah terkering dan terpanas. Meskipun diapit oleh lautan di sebelah barat dan timur, laut itu terlalu kecil untuk dapat memengaruhi kondisi cuaca Afro-Asia yang jarang turun hujan. Hanya Yaman dan Asir yang mendapatkan curah hujan yang cukup untuk bercocok tanam secara teratur. Dataran subur lainnya, meskipun tidak merata kesuburannya, bisa dijumpai di sekitar pesisir. Permukaan tanah Hadranaut dicirikan dengan perbukitan landai yang cukup banyak memilki kandungan air bawah tanah. Oman, wilayah paling timur, mendapat curah hujan yang cukup. Daerah-daerah yang sangat panas dan kering adalah Jedah, Hudaidah, dan Masqat. C. Sejarah Singkat Kerajaan Saudi Arabia Pemerintah Saudi bermula dari bagian tengah semenanjung (jazirah) Arab yakni pada tahun 1750 ketika Muhammad bin Sa'ud bersama dengan Muhammad bin Abdul Wahhab bekerja sama untuk memurnikan agama Islam yang kemudian dilanjutkan oleh Abdul Aziz Al Sa'ud atau Abdul Aziz Ibnu Su'ud dengan menyatukan seluruh wilayah Hijaz. Pada tahun 1902 Abdul Aziz menguasai Riyadh dari penguasa Al-Rashid dari Najd Utara, kemudian Al-Ahsa kemudian wilayah Najd antara tahun 1913-1926. Pada tanggal 8 Januari 1926, Abdul Aziz menjadi penguasa wilayah Najd. Dengan menandatangani perjanjian di Jeddah pada tanggal 20 Mei 1927, Arab Saudi menyatakan kemerdekaannya. Kerajaan Arab Saudi diproklamirkan secara resmi pada tanggal 23 September 1932 oleh ‘Abd Al- ‘Aziz ibn ‘Abd Al-Rahman Al-Sa’ud dan diperintah oleh keturunannya dalam bentuk pemerintahan kerajaan. Najd yang berada di Arabia Tengah, daerah ini merupakan kampung halaman keluarga penguasa Al-Sa’ud dan pusat gerakan Wahhabiyah, yang memberi alasan bagi penaklukan semenanjung ini pada abad ke-18 dan ke-20, serta membentuk karakter keagamaan pemerintah dan masyarakat di bawah pemerintahan keluarga Al-Sa’ud. Geakan Wahhabiyah dimulai pada pertengahan abad ke-19 dengan meunculnya persekutuan antara kepela suku Najd Selatan, Muhammad ibn Sa’ud, dan seorang pembaru agama Najd, Muhammad ibn ‘Abd Al-Wahhab. Dalam ajarannya, Ibn Al-Wahhab menekankan keesaan Allah dalam praktik ritual, menekankan perlunya berprilaku yang selaras dengan hukum-hukum Al-Qur’an dan praktik-praktik yang dicontohkan dalam Sunnah Nabi. Pada hakikatnya, pembentukan kerajaan Saudi Arabia tidak terlepas dari peran kedua tokoh tersebut. Dengan meniru metode nenek moyangnya, Abd Al-‘Aziz mencapai tujuannya dengan cara menyebarluaskan ideologi Wahhabiyah di ingkat masyarakat, mendukung pengajaran Al-Qu’ran, shalat di masjid, dan misi pengajaran di desa-desa terpencil serta di kalangan suku Badui, dan dengan menciptakan kekuatan militer, Ikhwan (persaudaraan, yang diilhami oleh semangat penaklukan melalui keimanaan. D. Sistem Pemerintahan Saudi Arabia Sistem pemerintahan Saudi Arabia adalah berbentuk Monarki yang berdasarkan hukum Islam. Karena Raja mengambil otoritasnya dari rakyat. Hal ini selaras dengan pendapat Munawir Syadzali, bahwa sistem pemerintahan Saudi Arabia adalah Monarki murni, karena kepala Negara adalah seorang raja yang dipilih oleh dan dari kelurga besar Saudi. Raja Saudi di samping sebagai Kepala Negara juga merupakan kepala keluarga besar Saudi. Namun demikian, pendapat lain mengatakan bahwa model kekuasaan Saudi Arabia ini adalah model fusionis, yaitu model kekuasaan gabungan antara rakyat dengan Tuhan. Sedangkan Charles Didier berpendapat bahwa sistem pemerintahan Saudi Arabia ini adalah Teokrasi, karena dalam pemerintahannya diberlakukan hukum yang bersumber dari al-Qur’an. Arab Saudi menempatkan Islam sepenuhnya dalam bidang struktur pemerintahan, kebijaksanaan, legitimasi, dan dalam melaksanakan setiap perubahan. Negara praktis tidak memiliki undang-undang dasar, karena sumber hukumnya adalah Islam. Sebuah badan, yang disebut Syari’ah, membuat segala peraturan untuk ketertiban masyarakat. Raja adalah penguasa eksekutif sekaligus pembuat undang-undang. Karena itu, selain mempunyai kedudukan sebagai pemimpin politik, raja berperan juga sebagai imam atau pemimpin agama. Keluarga kerajaan meliputi beberapa ribu bangsawan yang umumnya memiliki kedudukan politik dan status sosial penting di Negara. Para pemuka bangsawan dipilih langsung oleh raja, kadang-kadang dengan pertimbangan para ulama. Pada dasarnya, kekuasaan raja didukung oleh para pemuka bangsawan, ulama, dan para pemimpin suku di daerah-daerah. Raja juga membentuk semacam kabinet yang pada umumnya berdarah bangsawan. Para menteri dalam cabinet ini bertugas memimpin departemen masing-masing, dan memberikan saran dan usul kepada raja. Untuk mengatur daerah, raja membagi kerajaanya atas sejumlah propinsi yang dipimpin oleh para gubernur. Untuk memimpin daerah, tiap gubernur dibantu oleh sebuah dewan daerah yang anggotanya antara lain para kepala suku. Kadang-kadang kepala suku juga merangkap sebagai wali kota. Untuk menjalankan kekuasaan kehakiman, seorang kadi mengepalai badan pengadilan. Kekuasaan seorang qadi hanya terbatas pada persoalan hukumdan peraturan yang dikeluarkan oleh syari’ah. Kalau kasusnya menyangkut peraturan yang diundangkan dengan dekrit raja, maka yang berhak mengadili bukan qadi, melainkan gubernur atau kepala daerah setempat. Hukuman cambuk, potong tangan, dan pancung masih berlaku di negeri ini. Saudi Arabia tetap mempertahankan otoritas kegamaan dan politik tradisionalnya, yakni pertalian keluarga merupakan faktor utama dalam pemerintahan. Suatu hal yang dengan kuat dapat memberikan kesan bahwa rezim Saudi sebenarnya, bukanlah tipe kekusaan teokrasi. Sumber legitimasi mereka ada dua, yaitu paham Saudism dan Wahhabism; atau dapat dikatakan model kekuasan Dualis, sebagaimana pendapat-pendapat tersebut diatas. Sehingga hal ini berimplikasi pada tidak terdapatnya anggota dewan yang anggota-anggotanya dipilih oleh rakyat, tidak ada partai politik dan tidak ada serikat buruh. Partai politik dianggap tidak ada gunanya, karena keadilan dianggap telah terdapat di seluruh wilayah Negara dengan syari’ah sebagai pengatur. Di samping itu, hal tersebut bertentangan dengan Al-Quran yang melarang memecah belah ummat dalam kelompok. Sementara serikat buruh ditolak dan dianggap tidak ada gunanya, karena hukum negara sepenuhnya melindungi kaum buruh: Yang ada adalah majelis syura yang anggota-anggotanya ditunjuk dan dingkat oleh raja. Namun demikan, tidaklah mutlak dan tanpa batas, karena raja harus tunduk kepada syari’ah, sehingga pelanggaran terhadap syariah dapat dijadikan dasar untuk menurunkan raja dari tahtanya. Hal ini terjadi pada raja Sa’ud ibn Abd al-Aziz yang memerintah dari tahun 1953-1964 M. beliau diturunkan oleh suatu majelis yang terdiri atas sejumlah pangeran, ulama dan pejabat tinggi kerajaan, dengan alasan dia menghambur-hamburkan harta kekayaan Negara dalam jumlah besar dengan membangun istana-istana barunya, juga melakukan money politic kepada kepala suku dengan tujuan agar mereka dapat mendukungnya. Dari peristiwa ini, kerajaan dilanda krisis moneter yang pada gilirannya menjelma mejadi krisis politik; sehingga pada bulan Oktober 1962 impeachment terhadap Saud pun tidak dapat dihindari. Dengan demikian ia terpaksa menyerahkan kekuasaanya kepada saudaranya, yang bernama Faisal. Tepatnya pada tahun 1964 Saud secara resmi turun dari tahtanya, kemudian Faisal pun menggantikannya sebagai raja. Faisal terus memegang kendali pemerintahan sampai ia mati terbunuh pada tahun 1975. susunan, gaya dan bahkan kebijakan-kebijakan pemerintahan Saudi Arabia, dewasa ini sebagian besar tetap sama seperti yang dicanangkan olehnya. E. Dinamika Penerapan dan Pembaruan Hukum Islam di Saudi Arabia Saudi Arabia adalah salah satu Negara yang tetap mempertahankan landasan tata politik dan legitimasi tradisional di tengah-tengah transformasi sosial dan ekonomi yang sangat pesat. Sebagaimana nama Saudi Arabia sebagai nama Negara yang diresmikan pada tahun 1932. Negara ini pada dasarnya merupakan hasil dari persekutuan yang terjadi di Dariyyah (pada tahun 1744 M) antara tokoh ulama yang bernama Muhammad ibn Abd al-Wahhab (1703-1792 M) dengan seorang amir Muhammad ibn Saud, dari suatu konfederasi suku-suku terkuat ‘Anaza (‘Unaiza). Tetapi keadaan Saudi Arabia sebelum ibn Wahhab mengadakan persekutuan dengan amir ibn Saud, semenanjung Arab masih merupakan bagian dari Daulat Utsmaniyyah yang telah didominasi oleh keyakinan agama islam. Atau dalam istilah kekuasaan, model tradisional; kekuasaan pada waktu itu dipegang oleh khalifah dan sultan utsmaniyah. Jabatan intermediate, yang biasanya dipegang oleh para ulama, pada waktu itu secara praktis nampaknya kosong, sejak di bawah kekuasaan Utsmaniyah, para ulama telah berhenti mewakili apa yang mereka wakili sebelumnya pada kedaulatan Utsmaniyah dan Abbasiyah. Pada masa ini, Muhammad ibn Abd al Wahhab menjadi salah seorang Qadhi dalam bidang peradilan. Dia mulai menerapkan hukum rajam dan hudud serta hukum-hukum lainnya dalam pengadilan. Secara umum, hukum yang diberlakukan di pengadilan adalah hukum yang sesuai al-Quran, al-Sunnah, dan hasil ijtihad para ulama salaf. Lembaga peradilan pada masa ini dinilai sangat penting, karena berhubungan langsung dengan masyarakat, baik dalam persolan-persoalan pribadi maupun sosial; jabatan Qadhi dipegang oleh orang-orang yang dinilai mampu memecahkan persoalan, melerai persengketaan dan mengeni kasus hukum yang terjadi dengan pendekatan agama. Dengan demikian agama dan Negara dikaitkan dengan pola kaitan yang sangat kuat. Dan rezim parlementer juga konstitusionl diberlakukan antara tahun 1962 dan 1967, tetapi sayang sistem ini kemudian ditinggalkan. Tepatnya prestasi tersebut di atas berakhir secara mendadak pada tahun 1819 M ketika gubernur Utsmaniyah, Muhammad Ali menyerang Saudi dan menghancurkan ibu kotanya (Dir’iya) dan Wahabisme untuk sementara ditindas. Penyerangan ini disebabkan oleh pemerintahan Utsmaniyah di Mesir merasa terancam dengan semakin meluasnya wilayah kekuasaan Saudi. Terutama setelah penaklukan Hijaz. Pada saat ini yang asalnya ulama mempunyai peran yang sangat strategis dalam segala bidang di seluruh jazirah Arabia, seperti sebagai penasihat politik bagi para penguasa, pimpinan peradilan, pimpinan pendidikan Islam, sebagai sumber nasihat moral dan otoritas politik baik ulama Ibadiyah, zaidiyah, Syafi’iyah maupun Wahhabiyah, menjadi berubah. Peradilan ini tidak lagi sepenuhnya berada di tangan Qadhi (para ulama) kecuali hanya menangani kasus-kasus yang berhubungan dengan hukum kekeluargaan atau perdata (al-Akhwal al-Syakhshiyah); persoalan-persoalan agama dipandang sebagai persoalan individual. Para qadhi banyak diintervensi oleh para penguasa politik (gubernur dan syarif); sebagian besar qadhi menjadi alat politik di tangan syarif, seringkali para qadhi mendapat “hadiah” dari para syarif sebelum memproses peradilan, dengan harapan kasusnya dimenangkan oleh qadhi. Hal demikian, tentu saja, mengakibatkan lembaga peradilan tidak lagi independent. Ditambah lagi dengan diberlakukannya peradilan tradisional bagi orang-orang Arab Badui yang berdasarkan adat istiadat setempat yang kadang kala bertentangan dengan syara’. Misalkan pencurian dianggap tidak termasuk kejahatan, tapi dianggap sebagai tanda keberanian. Padahal hingga satu atau dua dekade teakhir, jazirah Arabia ini hampir tidak terpengaruh oleh nasionalisme dan modernisme sekular, dan selalu mencurigai setiap peubahan sosial dan ideologi yang tengah berkembang di dunia arab. Baru setelah sebab yang telah disebutkan di atas, juga karena perang dunia II, jazirah arab ini menjadi sasaran bagi beberapa kekuatan yang telah berpengaruh di Timur Tengah. Beberapa organisasi pemerintahan modern dan konsep politik revolusioner segera diperkenalkan. Kondisi yang tidak menyenangkan tersebut, bukan merupakan akhir dari persekutuan Saud-Wahhab yang menemukan ekspresi politik yang kedua kalinya ini berpusat di Riyadh dan dimulai sejak tahun 1920-an. Persekutuan itu kurang berhasil dibanding dengan yang pertama. Perlawanan dari orang-orang utsmaniyah. Pertempuran lokal dan perkelahian dalam keluarga Saud, karena memungkinkan mereka untuk memperoleh kekuasaan atas wilayah yang sekaligus memberi mereka alasan yang kuat untuk menyingkirkan ajaran-ajaran yang menyimpang dari semenanjung ini, dan hal itu juga sangat bermanfaat bagi para pengikut islam fanatik, sebab menolong mereka untuk menyebarkan agama islam. Wujud yang jelas dari gabungan-gabungan kekuatan ini terjadi pada awal abad 20 M, yaitu ketika Abd al Aziz bergerak untuk merebut menguasai kembali wilayahnya dan memperoleh hasil yang gemilang pada tahun 1924. Pada masa ini tatanan sistem peradilan kembali berlandaskan hukum-hukum yang bersumber dari al-Quran, al-Sunnah dan pendapat ulama salaf. Sejak saat itu sampai sekarang, kedudukan qadhi kembali meningkat dan berwenang kembali mengurusi tidak hanya perkara yang termasuk dalam kategori al-Akhwal al-Sykhshiyah, tapi juga pidana. Hukum hudud kembali diterapkan dengan sanksi hukum potong kepala (pancung), rajam, cambuk dan potong tangan. Hukum ini berlaku tidak hanya bagi muslim, tapi juga bagi non muslim, misalnya pihak yang berwajib pernah menghukum cambuk beberapa orang inggris, karena menjual minuman keras kepada orang islam. Sekarang ini ada Pengadilan Banding dan Badan Kehakiman tertinggi. Akan tetapi kata putus terakhir ada di tangan raja, melalui wakil-wakilnya (amir). Namun sekalipun demikian, para qadhi tetap memiliki kebebasan dalam memutuskan perkara dalam arti pemerintah (raja) tidak bisa dengan mudah mempengaruhinya, karena para qadhi tersebut terkenal adil, mempunyai integritas tinggi, umumnya tidak dapat disuap dan merupakan tokoh-tokoh kunci masyarakat yang nasehatnya seringkali didengar orang. Sistem Hukum Menurut J.N.D. Anderson, sistem-sistem hukum di dunia islam, secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga kelompok: a. Sistem-sistem yang masih mengakui syariah sebagai hukum asasi dan kurang lebih masih menerapkannya secara utuh. b. Sistem-sistem yang meninggalkan syariah dan menggantinya dengan hukum yang sama sekali sekuler c. Sistem-sistem yamg mengkompromikan kedua pandangan sistem tersebut. Dari ketiga criteria tersebut, kiranya Saudi Arabia dapat digolongkan kepada salah satu Negara yang hingga kini masih menerapkan syariah islam dalam segala aspek kehidupan sepanjang syari’ah telah mengaturnya. Negara ini belum menerima sistem hukum lain kecuali sedikit saja yang bersumber pada inspirasi barat. Seperti ardonasi (Nizam) dagang dinyatakan berlaku dan dewan (mahkamah) dagang dibentuk di Jeddah dengan maksud untuk menyelesaikan pertikaian mengenai transaksi-transaksi dagang sesuai dengan mengambil prinsip-prinip dagang Turki Utsmani tahun 1850 M yang menggabungkan antara prinsip zakat dengan aturan hukum fiskal Amerika. Pemerintah Saudi juga telah mengundangkan peraturan perdagangan (1954), peraturan-peraturan kewarganegaraan (1954), undang-undang pemalsuan (1961), hukum perdagangan (1963), hukum perburuhan dan pekerja (1970), hukum jaminan sosial (1970) dan hukum jawatan sipil (1971). Aturan–aturan ini tidak bermaksud menyeleweng dari syariah, melainkan sekedar menjabarkan pelaksanaan melalui tindakan-tindakan administratif atau untuk melengkapinya dengan mengemukakan norma-norma dalam menangani masalah-masalah yang tidak diliputinya dengan jelas. Di samping itu para penguasa Saudi telah menggunakan hak istimewa mereka untuk mengubah struktur tatanan hukum. Di bidang luar syariah, pada tahun 1955 telah dibentuk badan pengaduan (Diwan al-Mazalim), yang menemukan inspirasinya di dalam sejarah Abbasiyah. Dalam menghadapi pertumbuhan, dekrit-dekrit di luar hukum, pimpinan Saudi perlu mendirikan sebuah pengadilan administratif dalam rangka mendengarkan pengaduan-pengaduan. Contohnya, peraturan penanaman modal asing (1964) memberikan kekuasaan kepada pengadilan untuk menjadi juru penengah terakhir apabila seorang pengusaha merasa pemerintah telah memperlakukanya dengan tidak adil. Para ulama memegang peranan yang cukup penting dalam pembentukan keputusan-keputusan nasional; nasihat dan fatwa mereka sering dijadikan dasar oleh raja dalam dekrit-dekritnya. Dekrit ini memiliki kekuatan yang cukup besar dalam sistem hukum di Saudi Arabia, karena kedudukan dekrit sama dengan qanun atau dalam istilah mereka (Saudi Arabia) disebut dengan istilah nizam yang ditetapkan berdasarkan maslahah (kepentingan umum). Contohnya, ketika Abd al-Aziz mendatangkan teknisi-teknisi minyak yang berasal dari orang kafir, lalu raja menyebut beberapa kasus yang telah terbukti pada masa Nabi yang pernah memperkerjakan orang-orang non muslim, baik secara individu maupun kelompok. Raja bertanya dihadapan para ulama: Apakah saya benar atau salah?” Para ulama menjawab dengan suara bulat bahwa ia benar. Para ahli hukum Arab Saudi pada dasarnya berpegang pada madzhab Hambali, dengan memakai enam rujakan kitab, khususnya kitab Syarh al-Muntaha dan Syarh al-Iqna. Namun mereka tetap menerima pendapat madzhab lain. Sepanjang tidak bertentangan dengan madzhab Hambali secara substantif, khususnya mengenai masalah-masalah yang tidak diuraikan secara jelas atau tidak disinggung sama sekali dalam madzhab Hambali. Prinsip pokok madzhab ini adalah “asal segala sesuatu itu boleh, sampai ia terbukti haram”. Arab Saudi adalah Negara Islam merdeka dengan corak yang khas (typical) yang kuat sekali menghargai syari’ah sebagai hukum yang mengatur setiap aspek kehidupan. Negara ini tidak “menerima” sistem hukum lain mana pun; dan ia sangat sedikit melaksanakan hukum yang bersumber pada inspirasi Barat. Memang, setiap aturan hukum yang bertentangan dengan konsep-konsep asasi Islam berarti, secara teoritis, juga bertentangan dengan hukum asasi Hijaz yang dinyatakan berlaku oleh Raja Abdul Aziz ibnu Sa’ud karena pasal 6 hukum tersebut menyatakan, “Aturan hukum di kerajaan Hijaz harus senantiasa disesuaikan dengan Kitab Ilahi (Al-Qur’an), sunah Nabi, dan perbuatan para sahabat serta para pengikut setianya. Peraturan-peraturan baru yang muncul dewasa ini menunjukkan bahwa pembaharuan hukum Islam di Saudi menggunakan sistem adaptasi dan sudah tentu, peraturan-peraturan itu tidak menyimpang dari syariat Islam, tetapi justru melengkapinya. Selain itu, Saudi Arabia tidak memilki konstitusi resmi syariah. Semuanya dikembalikan pada Al-Qur’an sebagai konstitusinya. Dalam hal ini, Arab Saudi tidak mengodifikasikan hukum Islam pada tataran hukum positif atau diundangkan. F. Kesimpulan Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Saudi Arabia merupakan sebuah Negara yang tetap menerapakan dan memberlakukan hukum Islam dalam segala aspek kehidupan. Negara praktis tidak memiliki undang-undang dasar, karena sumber hukumnya adalah Islam. Raja adalah penguasa eksekutif sekaligus pembuat undang-undang. Karena itu, selain mempunyai kedudukan sebagai pemimpin politik, raja berperan juga sebagai imam atau pemimpin agama. Namun demikian, dewasa muncul berbagai macam peraturan sebagai bentuk dari pembaharuan hukum Islam dalam pemerintah yang eksistensianya tidak bermaksud menyeleweng dari syariah, melainkan sekedar menjabarkan pelaksanaan melalui tindakan-tindakan administratif atau untuk melengkapinya dengan mengemukakan norma-norma dalam menangani masalah-masalah yang belum jelas dijabarkan. DAFTAR PUSTAKA Anwar al-Umrusi, Al-Tasyri’ wal Qadha fil Islam, (Iskandariah: Muassasah Syubab al-Jami’ah, 1984). Badri Yatim, Sejarah Sosial Keagamaan Tanah Suci, (Jakarta: Logos, 1949). Charles Didier, Sajour with The Grand Sharif of Mecca, (New York: The Oleander, 1985). Dedi Supriyadi, Sejaran Hukum Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2007). Dewan Redaksi, EnsiklopediIslam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997). Edward Mortimer, Faith and Power: The Politics of Islam, terj. Enna Hadi dan Rahmani Astuti. (Bandung: Mizan, 1984). H. Lammens, S.J., Islam: Beliefs and Institutions, (New Delhi: Oriental Books Reprint Corporation, 1979). John L. Esposito [ed], Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, (Bandung: Mizan, 2001), jilid 1. ______________, Identitas Islam Pada Perubahan Sosial Politik, (Jakarta: Bulan Bintang, 1986). Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, (Jakarta: RajaGrafindo, 1999), bag. 3. Munawir Syadzali, Islam dan Tata Negara, (Jakarta: UI Press, 1993). Mehdi Muzaffari, Kekuasaan dalam Islam, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1994). James P. Piscatory, Idiological Politic in Saudi Arabia, Penyunting Harun Nasution dan Azyumardi Azra dalam “Perkembangan Modern dalam Islam”, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985). Philip K. Hitti, History of The Arab, pent. R. Cecep Likman Yasin, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2006). J.N.D. Anderson, Islamic Law In The Modern World. Terj. Machnun Husain, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994). www. id.wikipedia.org/wiki/Arab_Saudi

2 komentar:

  1. Selain makalah, posting juga hal-hal aktual. Makalah terlalu berat untuk dibaca cepat. Hal itu bisa bikin pengunjung segan membaca dan kembali berkunjung. Okey, keep on blogging. Kutunggu kunjungan dan komentarnya di blog-ku.

    BalasHapus
  2. Ok, inikan baru eksperimen, tapi Insya Allah...semoga Allah memberikanku banyak waktu dan kesempatan untuk menuangkan tulisan dan apapun yang bisa bermanfaat, thanks.

    BalasHapus