Selasa, 27 Januari 2009

PERBANDINGAN SISTEM HUKUM DI NEGARA TURKI DAN MALAYSIA

PERBANDINGAN SISTEM HUKUM DI NEGARA TURKI DAN MALAYSIA Oleh: Asep Awalluddin A. Pendahuluan Pengodifikasian hukum Islam, sebelumnya masih termuat dalam kitab-kitab fiqih, menjadi Undang-Undang adalah prestasi tersendiri bagi umat Islam. Hukum Islam yang termuat dalam kitab-kitan fiqih ini, sebenarnya telah menjadi hukum dalam kehidupan umat Islam, beberapa abad lamanya. Aka tetapi, upaya penghimpunan (kodifikasi) dalam suatu kitab Undang-Undang baru dimulai oleh Turki, dengan dibentuknya Majallah Al-Ahkam Al-Adliyah. Tujuannya adalah dengan hukum, Islam dapat dioperasionalkan dengan mudah oleh umat Islam. Di samping itu, keberadaan Undang-Undang ini secara khusus berujuan untuk kepentingan peradilan akan rujukan hukum yang mudah diperoleh, serta mengambil landasan hukum yang kuat yang telah dipraktikkan oleh umat Islam. Kodifikasi hukum Islam yang dimulai di Turki, ternyata berpengaruh besar terhadap negara-negara Islam. Secara ringkas, di setiap negara-negara Islam, proses kodifikasi tentu mengikuti mazhab setempat yang dianut oleh masyarakatnya dan kecenderungan mazhab negara. Upaya menjadikan hukum Islam sebagai Undang-Undang sebenarnya merupakan wewenang umat Islam, melalui para ulama, cendekiawan, dan umara. Pengembangan segi-segi relevan itu tentunya memerlukan institusi-institusi hukum pada setiap pemerintahan. Oleh karena itu, pengembangan institusi hukum Islam memerlukan penanganan pemerintah. Penangannya, paling tidak, melalui tiga aspek, yaitu institusi peradilan, kodifikasi hukum Islam, dan organisasi hukum Islam. Pembahasan makalah ini ialah mengenai prinsip-prinsip syariah dan qanun yang berlaku di Negara Islam dan juga pembaruan hukumnya. Mengenai definisi dunia Islam, seperti dikemukakan Ahmad Al-Usairi adalah negeri-negeri atau negara-negara yang presentase penuduk muslimnya lebih 50% dari keseluruhan jumlah penduduk. Pertimbangan jumlah ini merupakan pertimbangan pertama dan terpenting dibandingkan dengan pertimbangan-pertimbangan yang lain. Selain pertimbangan jumlah penduduk, juga terdapat pertimbangan lain, yaitu pertimbangan Undang-Undang –dalam kaitan ini Undang-Undang Islam- yang diberlakukan pada sebuah negara. Jika suatu negara dipimpin oleh orang yang beragama Islam, maka layak dipertimbangkan status keislaman negara yang dipimpinnya. Sebab, selain sebagai simbol yang mencerminkan personifikasi penduduk negara yang bersangkutan, bagaimanapun seorang kepala negara akan memiliki peranan dan pengaruh yang sangat besar dalam mengambil keputusan terhadap hal-hal yang sangat strategis. Termasuk di dalamnya tentang pemberlakuan sistem hukum di negara yang dipimpinnya. Dalam pada itu, dilihat dari sudut pandang agama Islam dan penduduk muslim, negara-negara di muka bumi ini secara umum dapat dibedakan ke dalam tiga kategori (kelompok), yakni (1) kelompok negara-negara Islam, (2) kelompok negara-negara yang berpenduduk mayoritas muslim, dan (3) kelompok negara-negara yang berpenduduk muslim minoritas. Yang dimaksud dengan negara-negara Islam ialah negara-negara yang secara eksplisit dan atau formal konstitusional menyatakan dirinya sebagai negara Islam, seperti Arab Saudi, Iran, Sudan, dan lain-lain. Termasuk dalam kategori negara Islam formal-konstitusional adalah Brunei Darussalam dan Malaysia, yang masing-masing konstitusinya bahwa agama resmi negara adalah Islam. Adapun yang dimaksud dengan negara-negara yang berpenduduk mayoritas muslim ialah negara-negara yang warga negara dan penduduknya mayoritas (lebih 50%) memeluk agama Islam meskipun konstitusimya tidak secara eksplisit menyebutkan diri sebagai negara Islam, seperti Indonesia, Mesir, Turki, dan lain-lain. Sedangkan yang dimaksud dengan negara-negara berpenduduk muslim minoritas ialah negara-negara yang penduduk atau warga-negara muslimnya relatif lebih sedikit (kurang dri 50%) dibandingkan dengan kebanyakan warga negara/penduduk negara bersangkutan yang memeluk agama selain Islam seperti Filipina, India, Myanmar, Singapura, Thailand, dan lain-lain. B. Sekilas Tentang Negara Turki dan Malaysia 1. Negara Turki Negara Turki lahir dari reruntuhan kesultanan Usmaniyah pasca perang dunia I yang terletak di Asia kecil (Anatolia) yang didirikan oleh Mustofa Kemal Attaturk. Turki merupakan negara sekuler pertama di dunia Islam. Negara yang berdekatan dengan benua eropa ini memproklamirkan diri sebagai negara republik pada tahun 1923. Menurut data tahun 1992 Negara Turki berpenduduk 58.436.000, sedangkan pada tahun 2007 telah berkembang menjadi 70.586.256. 98 % di antaranya merupakan muslim yang mayoritas bermazhab sunni. Penduduk Turki banyak yang secara sadar tidak menjalankan syari’at Islam sebagai akibat kebijakan sekularisasi yang diterapkan. Gerakan tanzimat yang dikumandangkan oleh Turki Muda meupakan awal pembaruan Turki di bidang militer, ekonomi, sosial, keagamaan. Gerakan tanzimat didasari oleh pemikiran barat dan meninggalkan pola dasar syari’at Islam. Penyingkiran Islam oleh pemerintah Turki salah satunya tercermin dari penghapusan kalimat “agama Negara Turki adalah Islam” yang semula terdapat pada pasal 2 konstitusi negara. Pemerintah Turki juga membentuk komite untuk mengkaji pembaruan Islam. Tujuan komite tersebut lebih bersifat politis yaitu memisahkan seluruh lembaga sosial, pendidikan dari yurisdiksi para pemimpin agama beserta sekutu-sekutu politik mereka, serta meletakkannya ke dalam yurisdiksi direktorat urusan agama. Rezim yang berkuasa menjadi lebih sekuler ketika Islam “dinasionalisasi” pada bulan Januari 1932; al-Qur’an dibaca dalam bahasa Turki, Setahun kemudian muncul kebijakan tentang azan yang berbahsa Turki. Walaupun begitu Islam tetap digalang demi tujuan-tujuan kewarganegaraan, seperti seruan agar masjid-masjid terus menyebarkan propaganda untuk mendukung perekonomian nasional. Penerjemahan al-Qur’an dalam bahasa Turki yang dilakukan oleh Pemerintahan Mustofa Kemal Attaturk dilakukan tanpa menyertakan teks aslinya (bahasa Arabnya). Walaupun begitu teks Arabnya masih tetap dipakai dalam shalat. Dalam perkembangannya ada kecenderungan orang-orang Turki kembali pada teks Arab dalam membaca al-Qur’an. Sedangkan penerjemahan al-Qur’an ke dalam bahasa setempat dilakukan untuk lebih memahami teks al-Qur’an. 2. Negara Malaysia Malaysia adalah sebuah negara yang terletak di Asia Tenggara. Malaysia mempunyai dua kawasan utama yang terpisah oleh Laut Cina Selatan, yaitu: Semenanjung Malaysia (Malaysia Barat), berbatasan dengan Thailand di utara dan Singapura di selatan; dan Malaysia Timur, di bagian utara Pulau Kalimantan yang berbatasan dengan Indonesia di selatan dan Brunei di utara. Kerajaan Melayu yang paling awal tercatat dalam sejarah tumbuh dari kota-pelabuhan tepi pantai yang dibuat pada abad ke-10. Di dalamnya termasuk Langkasuka dan Lembah Bujang di Kedah, dan juga Beruas dan Gangga Negara di Perak dan Pan Pan di Kelantan. Diperkirakan semuanya adalah kerajaan Hindu atau Buddha. Islam tiba pada abad ke-14 di Terengganu. Awal abad ke-15, Kesultanan Malaka didirikan oleh dinasti yang dimulai oleh Parameswara dari Palembang, Indonesia. Dengan Melaka sebagai ibu kota, kesultanan ini mengontrol wilayah yang sekarang disebut Semenanjung Malaya, selatan Thailand (Pattani, dan pantai timur Sumatra). Kerajaan ini berlangsung selama lebih dari satu abad, dan dalam periode tersebut menyebarkan Islam ke seluruh Kepulauan Melayu. Melaka sebagai pelabuhan perdagangan penting yang terletak hampir di tengah-tengah rute perdagangan Cina dan India. Menyusulnya pendudukan Jepang selama Perang Dunia II, dukungan penduduk untuk merdeka mulai tumbuh, diikuti dengan gangguan komunis. Rencana Britania Raya setelah perang untuk membentuk "Malayan Union" (Persatuan Malaya) dikacaukan oleh oposisi Melayu yang kuat yang menginginkan sistem Melayu yang layak, dan menginginkan hanya satu kewarganegaraan, bukan dwikewarganegaraan, yang dapat memberikan komunitas imigran yang dapat mengklaim kewarganegaraan Malaya dan negara asal mereka. Kemerdekaan dicapai pada 31 Agustus 1957 dengan nama Federasi Malaya. Federasi baru di bawah nama Malaysia dibentuk pada 16 September 1963 melalui penggabungan Federasi Malaya dengan koloni-koloni Britania Raya lainnya, yaitu Singapura, Borneo Utara (kemudian dinamakan Sabah), dan Sarawak, dua koloni terakhir berada di pulau Borneo. Federasi Malaysia merupakan sebuah negara monarki konstitusional. Malaysia diketuai oleh seorang raja yang biasa dikenal dengan nama Yang di-Pertuan Agong yang dipilih oleh dan dari 9 sultan negara bagian-negara bagian Malaysia yang dipimpin sultan untuk menjabat selama lima tahun secara bergilir. Sistem ini berdasarkan Westminster karena Malaysia merupakan bekas tanah jajahan Britania Raya. Kekuasaan pemerintahan lebih banyak dipegang oleh cabang eksekutif dibandingkan yudikatif. Pemilu biasa diadakan setiap 5 tahun sekali. Kekuasaan eksekutif ditetapkan oleh kabinet yang dipimpin oleh Perdana Menteri. Berdasarkan Konstitusi Malaysia, Perdana Menteri haruslah seorang anggota Dewan Rakyat, yang menurut pendapat Yang di-Pertuan Agong, mendapat dukungan mayoritas dalam parlemen. Sedangkan kabinet merupakan anggota parlemen yang dipilih dari Dewan Rakyat atau Dewan Negara. Parlemen terbagi atas Dewan Rakyat dan Dewan Negara. Dewan Negara mempunyai 70 orang senator (panggilan yang diberikan kepada anggota Dewan Negara). Pemilihan anggotanya bisa dibagi dua: 1. 26 anggota dipilih oleh Dewan Undangan Negeri sebagai perwakilan 13 negara bagian (setiap negara bagian diwakili oleh dua orang anggota). 2. 44 anggota yang dilantik oleh Yang di-Pertuan Agong atas nasihat Perdana Menteri, termasuk dua anggota dari Wilayah Persekutuan Kuala Lumpur, dan satu anggota masing-masing dari Wilayah Persekutuan Labuan dan Putrajaya. Dewan Rakyat mempunyai 222 anggota, dan setiap anggota mewakili satu konstituen. Mereka dipilih atas dasar dukungan banyak pihak melalui pemilu. Setiap anggota Dewan Rakyat memegang jabatan selama lima tahun. Kekuasaan yudikatif dibagikan antara pemerintah persekutuan dan pemerintah negara bagian. C. Prinsip-Prinsip Syari’ah dan Qanun di Negara Turki dan Malaysia 1. Prinsip-Prinsip Syari’ah dan Qanun di Negara Turki Diskursus mengenai implementasi syari’ah Islam di Turki tidak bisa terlepas dari masalah periodisasi. Hal ini penting untuk diketahui karena dapat dijakdikan tolak ukur atau perbandingan antara kemajuan dan kemunduran pada beberapa periode. Uraian periode tersebut adalah sebagai berikut: - Periode awal (1280 – 1413) - Periode restorasi (1413 – 1451) - Periode Puncak (1451 – 1566) - Periode desentralisasi dan reformasi tradisional (1566 – 1808) - Periode reformasi modern hingga kehancuran dinasti (1808 – 1924). Namun dalam pembahasan ini hanya akan diuraikan dari Periode Puncak sampai masa kehancuran dinasti. Periode puncak (1451- 1566) atau masa keemasan dinasti Utsmaniyah dapat disimpulkan dengan dua hal. Pertama, dari sudut politik, yang wilayah kekuasaan dinasti Utsmaniyah itu telah menyebar ke wilayah Eropa; kedua, dari sudut yurisdiksi atau implementasi syaria’t Islam. Dalam hal ini ada dua bentuk tasyri’ Islam yang telah dilakukan oleh bangsa Turki, yaitu pertama, dari sudut substansi (intisari) pelaksanaan ajaran Islam yang berhubungan dengan Tuhan (Allah), seperti shalat, puasa dan lain sebagainya. Dengan demikian secara jure (konstitusi) Turki, hal tersebut tidak diundangkan secara resmi, karena hal tersebut telah menunjukkan bahwa Turki telah dapat melaksanakan syari’at Islam. Dan kedua, dari sudut formal (legal), dimana dalam periode ini telah dirumuskan al-Qanun oleh Sulaeman. Selanjutnya dalam periode desentralisasi dan reformasi tradisional, tidak banyak hukum Islam yang dibahas, akan tetapi hanya sedikit gambaran mengenai perubahan dalam struktur kenegaraan (Hukum Tata Negara Turki), yaitu sebuah reformasi dari dalam. Hal ini dapat diketahui dari perubahan sistem kekuasaan sulthan atau khalifah. Sedangkan pada periode pertama sampai periode puncak kekuasaan pemerintahan Turki, kewenangan atau kebijakannya cenderung khalifah oriented. Namun dalam periode ini sulthan atau khalifah mendelegasikan wewenangnya kepada para ketua Diwan untuk mengmbil kebijakannya sendiri sesuai daerah yang mereka kuasai. Menginjak pada periode reformasi sampai kepada saat kehancuran Dinasti Utsmani, masalah hukum dan perundang-undangan Negara Turki menjadi komplek, pada satu sisi perlu adanya standarisasi “taqnin” yang akan dijadikan rujukan para hakim di Turki dalam mengambil kebijakannya atau putusannya atas suatu masalah, di pihak lain materi dan sistem kodifikasi perundang-undangannya banyak mengadopsi sistem perundang-undangan dan materi Barat (non-muslim). Untuk lebih jelasnya mengenai kompleksitas masalah tata hukum Islam di Turki, dapat diuraikan sebagai berikut. Pada abad ke-19, sulthan Turki telah mengambil suatu kebijakan dalam tata hukum di Turki, yaitu dengan membuat kodifikasi hukum dan peradilan sesuai dengan syari’ah. Ilmu hukum ajaran Hanafi menjadi prioritas utama untuk diterapkan dalam tata peradilan Turki pada kasus-kasus tertentu. Namun dalam perjalanannya para hakim Turki mendapatkan tekanan dari para penguasa negeri untuk mengaplikasikan materi hukum Barat. Yang kemudian ditindaklanjuti dengan dekrit Sultah yaitu Hatt-e Hariff yang menetapkan pola lagalisasi modern dan hukum perdagangan yang baru (keduanya bersumber pada pemikiran Non Hanafi dan sebagian diambil dari hukum Perancis) yang ditetapkan pada tahun 1850 dan tahun 1858, sistem yang dianutnya juga dualisme (ambivalencionalistik), yaitu ada yang bersumber dari hukum Islam dan yang tidak berdasarkan hukum Islam yang berfungsi untuk mengelola masalah-masalah hukum cabang lainnya (kasus-kasus tertentu). Proses modernisasi hukum Turki terus berlangsung mengadopsi hukum-hukum dari Perancis (kode Perancis). Dan sebagiannya lagi disempurnakan dari hukum Itali. Hukum Islam seperti Hadd dihapuskan kecuali hukum mati dan murtad. Untuk menetapkan hukum-hukum di atas, dibuatlah peradilan sekuler (nidhomiyah). Dan semua Yuridiksi perdata sudah nasuk dalam wilayah peradilan Nidhomiyah, maka kewajiban hukum dasar dikodifikasikan dalam suatu himpunan (kompilasi) yang dikenal dengan istilah “Al-Majallah Al-Adliyah”. Undang-Undang ini tidak didasarkan pada hukum Eropa, akan tetapi didasarkan pada hukum Hanafi, yang tujuannya adalah untuk keseragaman para hakim dalam mengambil kebijakan atau keputusan. 2. Prinsip-Prinsip Syari’ah dan Qanun di Negara Malaysia Di Malaysia, Islam dinyatakan sebagai agama resmi, namun demikian Negara menjamin bahwa setiap kelompok agama berhak mengurusi masalahnya sendiri. Apabila orang non-Islam dilindungi secara konstitusional dan legal, maka muslim berada dibawah hukum Islam, dimana Sultan yang mengurus kepentingan mereka dan pengadilan agama digunakan untuk mengawasi agama tersebut.Teks pasal yang berkenaan dengan ini menyebutkan: Hukum Islam serta hukum pribadi dan keluarga dari orang-orang beragama Islam, termasuk hukum Islam yang berkenaan dengan warisan, ada tidaknya warisan, pertunangan, perkawinan, perceraian, perwalian, pemberian, pembagian harta benda dan barang-barang yang dipercayakan, wakaf Islam, penentuan dan pengaturan dana sosial dan agama, penunjukan wali dan pelembagaan orang-orang berkenaan dengan lembaga-lembaga agama dan sosial Islam yang seluruhnya beroperasi di dalam negara, adat Melayu, zakat fitrah, dan baitul mal atau pendapatan Islam yang serupa dengan itu.... Jadi dalam situasi ini Islam adalah agama negara sedangkan hukum Islam mengatur tingkah laku orang-orang yang beriman, namun secara konstitusional kelompok agama lain juga diberi kebebasan untuk melaksanakan agama mereka menurut kehendak mereka. Mayoritas muslim di Malaysia adalah pengikut madzab Syafi’i, hal ini lebih jelas lagi dalam praktek kehidupan beragama khususnya berhubungan dengan hukum Islam seperti dalam hukum keluarga dan warisan masih tetap mengikuti aliran madzab tersebut. Walau demikian dalam realitasnya penentuan praktek hukum Islam ini harus atas kendali Sultan-Sultan yang memimpinnya mengingat Semenanjung Malaysia pada waktu itu memang dikuasai beberapa kerajaan Islam yang dipimpin langsung oleh Sultan seperti di kerajaan Johor, Malaka, Kelantan dan Trengganu. Selama penjajahan Inggris, sistem regulasi terjadi perubahan di mana bentuk dan peraturan lokal yang berhubungan dengan praktek hukum Islam seperti pengadilan syari’ah tentang perkawinan, perceraian dan kewarisan mengikuti model Inggris. Keadaan seperti ini berlanjut sampai Malaysia meraih kemerdekaannya. Setelah dapat melepaskan diri dari Inggris dan pemerintahan Malaysia berbentuk federal 1963, telah banyak usaha untuk merespon masyarakat untuk membuat Undang-Undang Hukum Keluarga seperti di Negara bagian Johor dan Trengganu yaitu Administrasi Undang-Undang Hukum Islam dan juga negara bagian lainnya seperti Kedah, Malaka, Negeri Sembilan, Penang, Perlak, Perlis dan Selangor dengan administrasi Undang-Undang hukum muslim. Begitu juga di negara bagian Serawak dan Sabah di mana muslim minoritas, tetap memberlakukan Undang-Undang Mahkamah Melayu 1915. Selama tahun 1983-1985 terjadi usaha untuk menyegarkan legislasi di Malaysia dalam bidang Hukum Keluarga yang diterapkan di beberapa negara bagian. Undang-Undang Hukum Keluarga Islam 1984 ini berisi 135 pasal yang terbagi dalam 10 bagian. Usaha penyeragaman Undang-Undang Keluarga Islam di Malaysia pernah dilakukan yang diketuai oleh Tengku Zaid. Tugas komite ini adalah membuat draf Undang-Undang Keluarga Islam. Setelah mendapat persetujuan dari majelis raja-raja, draf ini disebarkan kepada negara bagian untuk dipakai sebagai Undang-Undang Keluarga. Sayangnya tidak semua negeri menerima isi keseluruhan Undang-Undang tersebut. Kelantan Misalnya melakukan perbaikan atas draf. Akibatnya Undang-Undang Keluarga Islam yang berlaku di Malaysia tidak seragam sampai sekarang. Perbedaan di atas bisa saja diakibatkan masing-masing negara bagian mempunyai tujuan sendiri dalam pembentukan Undang-Undang-nya. Bagi Perlak, Selangor, Negeri Sembilan dan Akta Wilayah pembentukan Undang-Undang perkawinan daerah ini bertujuan untuk mengubah beberapa hal di bidang perkawinan, perceraian, nafkah, hadanah dan perkara lain yang berhubungan dengan kehidupan keluarga, maka pembentukan di sini hanya mengubah sebagian saja. Sedangkan Undang-Undang keluarga bertujuan untuk menyatukan Undang-Undang yang berkaitan dengan keluarga Islam dalam berbagai bidang dan perkara supaya menjadi lebih mengikat. Berarti Undang-Undang ini bertujuan untuk membuat suatu peraturan yang komprehensif dan agar Undang-Undang tersebut dipatuhi dan diikuti. Sementara Kelantan selain untuk penyatuan juga untuk meperbaharui Undang-Undang yang ada. Akhirnya tujuan pembentukan Perundangan di bidang perkawinan di Malaysia adalah untuk meninggikan status wanita dan mengubah peraturan hukum syari’ah mengenai keluarga. D. Pembaharuan Hukum Islam di Negara Turki dan Malaysia Pembaharuan hukum Islam di suatu Negara, menurut Anderson terbagi dalam tiga kategori. Pertama, beberapa negera yang sama sekali tidak melakukan reformasi hukum Islam dan tetap mengaplikasikan hukum yang ada dalam kitab-kitab fiqih sesuai dengan mazhab yang mereka anut. Negara yang termasuk dalam kategori ini adalah Arab Saudi. Kedua, beberapa Negara yang meninggalkan hukum Islam dan menggantikannya dengan hukum sekuler yang biasa diterapkan di Eropa. Turki adalah salah satu Negara dalam kategori ini. Ketiga, beberapa Negara yang mereformasi hukum Islam dengan mengkombinasikannya dengan hukum sekuler. Negara yang termasuk dalam kategori ini adalah Mesir, Tunisia, Iraq, Syiria, Indonesia, dan juga termasuk Malaysia. 1. Pembaharuan Hukum Islam di Negara Turki Legislasi hukum-hukum baru untuk melengkapi hukum Islam dalam skala besar telah dilakukan oleh penguasa-penguasa Turki Usmani pada abad ke-10 H/16 M yang menghasilkan qanun (canon). Qanun adalah produk kesultanan, dan bukan produk kekhalifahan. Pembaruan hukum Islam dalam format perundang-undangan hukum keluarga dimulai pada tahun 1917 dengan disahkannya the ottoman law of family rights (Undang-undang tentang hak-hak keluarga) oleh Pemerintah Turki. Pembaruan hukum keluarga di Turki merupakan tonggak sejarah pembaruan hukum keluarga di dunia Islam dan mempunyai pengaruh yang besar terhadap perkembangan hukum keluarga di negara-negara lain. Hukum keluarga mempunyai posisi yang penting dalam Islam. Hukum keluarga dianggap sebagai inti syari’ah. Hal ini berkaitan dengan asumsi umat Islam yang memandang hukum keluarga sebagai pintu gerbang untuk masuk lebih jauh ke dalam agama Islam. Hukum keluarga selama berabad-abad diakui sebagai landasan bagi pembentukan masyarakat muslim. Secara global dapat dikatakan hanya dalam hukum keluarga syaria’at Islam masih berlaku bagi ratusan juta atau lebih umat Islam sedunia. Pembaruan hukum keluarga di negara-negara Islam selalu melahirkan perdebatan di kalangan modernis-progresif dan tradisionalis- konservatif. Pembaruan hukum keluarga setidak-tidaknya berkaitan dengan materi hukum yang dianggap out of date yang dilakukan dengan metode-metode tertentu. Pembaruan hukum keluarga di Turki menarik untuk disingkap lebih lanjut, mengingat Turki adalah negara pertama di dunia Islam yang menggangas pembaruan yang radikal. Turki mempunyai peran penting dalam sejarah hukum Islam, terutama di asia barat. Hukum perdata Turki pada awalnya didasarkan pada mazhab Hanafi, namun kemudian juga menampung mazhab-mazhab lain, seperti dalam Majallah al-ahkam al-adhiya yang telah dipersiapkan sejak tahun 1876, namun di dalamnya tidak terdapat aturan tentang hukum keluarga. Aturan hukum yang berkaitan dengan perkawinan dan perceraian mulai dirintis tahun 1915. Materi perubahan pada tahun tersebut adalah kewenangan (hak) untuk menuntut cerai yang menurut mazhab Hanafi hanya menjadi otoritas suami. Seorang isteri yang ditinggal pergi oleh suaminya selama bertahun-tahun atau suaminya mengidap penyakit jiwa ataupun cacat badan tidak dapat dijadikan dasar bagi isteri untuk meminta cerai dari suaminya. Pada tahun yang sama dikeluarkan dua ketetapan umum. Pertama, dalam rangka menolong para isteri yang ditinggalkan suaminya secara resmi didasarkan pada mazhab Hambali (juga ajaran mazhab Maliki sebagai alasan pendukung). Kedua, dalam rangka memenuhi tuntutan perceraian dari pihak isteri dengan alasan suaminya mengidap penyakit tertentu yang membahayakan kelangsungan rumah tangga. Hukum tentang hak-hak keluarga (The Ottoman Law of Family Rights / Qanun al-huquq al Aila) yang dirintis sejak tahun 1915 kemudian diundangkan pada tahun 1917 adalah hukum keluarga yang diundangkan pertama kali di dunia Islam. Hukum tentang hak-hak keluarga tahun 1917 yang dikeluarkan oleh Pemerintahan Turki Usmani mengatur tentang hukum perorangan dan hukum keluarga (tidak termasuk waris, wasiat dan hibah). Undang-undang ini bersumber pada berbagai mazhab sunni Hukum tentang hak-hak keluarga tahun 1917 dalam bagian tertentu berlaku bagi golongan minoritas Yahudi dan Nasrani, karena undang-undang tersebut dimaksudkan untuk menyatukan yurisdiksi hukum pada pengadilan-pengadilan nasional. Undang-undang yang terdiri dari 156 pasal ini hanya berlaku singkat selama dua tahun, namun munculnya undang-undang ini memberikan inspirasi bagi negara lain untuk mengadopsinya dengan beberapa modifikasi. Beberapa tahun setelah pencabutan Hukum tantang hak-hak keluarga tahun 1917 situasi politik di Turki memberikan sedikit ruang untuk melakukan pembaruan hukum. Pasca konferensi Perdamaian Laussane tahun 1923, pemerintah Turki membentuk komisi hukum untuk mempersiapkan hukum perdata baru. Komisi tersebut berusaha menempatkan Hukum tentang hak-hak keluarga tahun 1917, Majallah al-ahkam al adhiya tahun 1876 dan hukum tradisional yang tidak tertulis ke dalam hukum baru yang menyeluruh. Namun perbedaan pendapat yang tajam di kalangan modernis dan tradisional – seperti pengambilan materi dari mazhab yang berbeda dalam hukum Islam, yang bersumber dari hukum adat atau hukum luar – menjadikan komite hukum kacau dan dibubarkan. Guna mengisi kekosongan hukum pasca kegagalan komisi hukum tersebut Pemerintah Turki mengadopsi hukum perdata Swiss tahun 1912 (The civil code of Switzerland, 1912) dengan beberapa perubahan yang disesuaikan dengan kondisi Turki dan diundangkan dalam hukum perdata Turki tahun 1926 (The Turkish civil code of 1926). Dalam beberapa hal ketentuan dalam hukum perdata Turki tahun 1926 sangat menyimpang dari hukum Islam tradisonal, seperti ketentuan waris dan wasiat yang mengacu pada hukum perdata Swiss tahun 1912. Materi yang menonjol dalam hukum perdata Turki tahun 1926 adalah ketentuan-ketentuan tentang pertunangan (terutama masalah ta’lik talak), batas usia minimal untuk kawin, larangan menikah, poligami, pencatatan perkawinan, pembatalan perkawinan, perceraian, dan lain-lain. Menurut hukum perdata Turki tahun 1926, seorang suami atau isteri yang hendak bercerai diperbolehkan melakukan pisah ranjang. Jika setelah pisah ranjang dijalani pada waktu tertentu tidak ada perbaikan kondisi rumah tangga, maka masing-masing pihak mempunyai hak untuk mengajukan cerai di pengadilan. Ketentuan tentang perceraian diatur pada Pasal 129 – 138 Hukum Perdata Turki tahun 1926. Suami atau isteri yang terikat dalam sebuah ikatan perkawinan dapat mengajukan perceraian kepada pengadilan dengan alasan-alasan yang telah ditentukan sebagai berikut: 1. Salah satu pihak berbuat zina. 2. Salah satu pihak melakukan percobaan pembunuhan atau penganiayaan berat terhadap pihak lainnya. 3. Salah satu pihak melakukan kejahatan atau perbuatan tidak terpuji yang mengakibatkan penderitaan yang berat dalam kehidupan rumah tangga. 4. Salah satu pihak meninggalkan tempat kediaman bersama (rumah) tiga bulan atau lebih dengan sengaja dan tanpa alasan yang jelas yang mengakibatkan kerugian di pihak lain. 5. Salah satu pihak menderita penyakit jiwa sekurang-kurangnya 3 tahun atau lebih yang mengganggu kehidupan rumah tangga dan dibuktikan dengan surat keterangan ahli medis (dokter). 6. Terjadi ketegangan antara suami isteri secara serius yang mengakibatkan penderitaan. Seiring dengan perkembangan zaman Hukum Perdata Turki tahun 1926 mengalami dua kali proses amandemen. Amandemen tahap pertama terjadi pada kurun waktu 1933 – 1956. Hasil amandemen ini antara lain berkaitan dengan ganti kerugian, dispensasi kawin, pasangan suami isteri diberi kesempatan untuk memperbaiki hubungan ketika pisah ranjang, juga penghapusan segala bentuk perceraian di luar pengadilan, serta tersedianya perceraian di pengadilan yang didasarkan pada kehendak masing-masing pihak (Pasal 125-132). Di samping itu pembayaran ganti kerugian terhadap pihak yang dirugikan akibat perceraian dapat dilaksanakan jika didukung dengan fakta dan keadaan kuat. Proses amandemen kedua terhadap Hukum Perdata Turki tahun 1926 berlangsung pada tahun 1988-1992. Amandemen tahun 1988 memberlakukan perceraian atas kesepakatan bersama ( divorce by mutual consents) , nafkah istri dan penetapan sementara selama proses perceraian berlangsung. Amandemen tahun 1990 berkaitan dengan pertunangan, pasca perceraian dan adopsi. Proses amandemen yang dilakukan oleh legislatif tersebut berakhir tahun 1992. Materi amandemen tahun 1990 yang berkaitan dengan perceraian, antara lain : 1. Salah satu pihak dapat mengajukan cerai atas dasar perwujudan dari ketidakcocokan tabiat yang berakibat pada rumah tangga yang tidak bahagia. 2. Pihak yang tidak bersalah dan menderita berhak mengajukan cerai dan meminta ganti rugi yang layak dari pihak lain. 3. Pihak yang tidak bersalah dan menjadi miskin berhak mengajukan cerai dan meminta nafkah dari pihak lain selama setahun. 2. Pembaharuan Hukum Islam di Negara Malaysia Pembaharuan hukum Islam (fiqih) di Malaysia secara garis besar dapat dibagi menjadi dua kelompok pemikiran; tradisional dan modern. Ciri utama pemikiran fiqih tradisional di Malaysia adalah bersandar pada madzhab ahlus-Sunnah wal-Jamaah, atau lebih khusus bertaklid pada madzhab Syafi’i. jika merujuk kitab-kitab ushul fiqh karangan ulama tradisional, jelas sekali tekanannya agar bertaklid pada madzhab yang empat, khususnya madzhab Syafi’i. Kitab-kitab yang menjadi rujukan para ulama tradisional sebenarnya tidak merujuk pada karya-karya Imam Asy-Syafi’I an sich, tetapi pada karya ulama Syafi’iyah. Kelompok tradisionalis ini berpuas hati pada kitab Al-Muhazzab (Ash-Shirazi), Fath al-Wahhab (Zakaria Al-Anshari), Tuhfat Al-Muhtaj (Ibn Hajar Al-Haitami), Nihayat Al-Muhtaj (Syamsudin Ar-Ramli). Mughni Al-Muhtaj (Ibnu Khatib Ash-Sharbini), Fath Al-Mu’in (Zainudi bin Abdul Aziz al-Malibari) dan Al-Ghayat wat-Taqrib (Al-Asfahani). Bukan karya-karya Imam Syafi’i, seperti Ar-Risalah atau Al-Um. Akibat sumber pengambilan ini, pemikiran fiqh yang berkembang tidak lagi dalam bentuk asli seperti digariskan oleh Imam Asy-Syafi’i. contoh yang terkenal ialah mengadakan dua kali adzan pada shalat jum’at di Mlaysia, padahal Imam Asy-Syafi’I hanya sekali adzan. Sejak diawalinya tradisi pemikiran fiqh di Nusantara oleh syekh Nuruddin Ar-Raniri dengan kitabnya Sirath Al-Mustaqim yang kemudian disempurnakan Syekh Muhammad Arshad bin Abdullah Al-Banjari dengam kitabnya Sabil Al-Muhtadin. Bahasan persoalan ibadah lebih dominan. Begitu besarnya perhatian terhadap bidang ini sehingga apabila membahas ilu fiqh seolah-olah hany menyangkut masalah ibadah. Namun demikian tidak berarti bidang-bidang fiqh yang lain diabaikan sama sekali. Sesuai dengan madzhab Syafi’I selain aspek ibadah, ada tiga aspek lain yang disentuh, yaitu munakaht, muamalat dan jinayat. Totkoh pertama yang membahas persoalan ini ialah Syekh Abdul Rauf Fansuri. Menurut Dr. Peunoh Daly, kedua-duanya seolah yelah melakukan pembagian tugas; fiqh ibadah ditulis oleh Ar-Raniri. Sedangkan yang lain-lainnya ditulis oleh Abdul Rauf Fansuri. Dengan pembagian tugas ini, ilmu fiqh lengkap dituli di Aceh sejak abad ke-17 M. Mengenai hukum munakahat, perkara yang dibahas adalah pertunangan, perkawinan, hak dan kewajiban suami-istri, seperti nfkah dan hadhanah serta perceraian dan rujuk. Adapun bidang muamalat, menyengkut masalah sosio ekonomi, seperti riba, khiyar, jual-beli, jual saham, mufis, berutang, gadai, suih, biwlah, berwakil, iqrar, qadi’ah, luqatah, mengupah, sew, dhaman, ariyah, mati, wakaf, dan lain-lain. Termsuk dalam persoaln ini adalah hukum farid atau pembagian pusaka, ahli waris, kadar masing-masing, pendinding, sisa harta, wasiat, dan sebagainya. Bidang jinayat atau ‘uqubat membicarakan tiga jenis hukum, yaitu hudud, qiyas dan ta’zir. Hudud adalah hukuman-hukuman yang sudah ditentukan oleh syara’, seperti hukum berzina, mencuri, murtad dan durhaka. Hukuman qisyas adalah hukum balas –bunuh bagi kesalahan membunuh atau membayar diat sebagai ganti rugi adapun hukuman ta’zir adalah hukuman-hukuman lain yang tidak diterangkan dengan jelas oleh syara, tetapi ditetapkan menurut kebijaksanaan hakim. Jika dikaji secara kritis, terdapat dua masalah yang patut derhatikan. Pertama, walaupun lingkupnya agak luas, fiqh tradisional tidak membahas bidang siyasah (politik). Sebenarnya dalam pemikiran Islam klasik terdapat karya-karya fiqh siyasah dan juga akhlak siyasah. Akan tetapi, karya-karya fiqh politik tidak mempunyai pemgaruh di Nusantara atau Malaysia. Sebaliknya yang berpengaruh adalah karya-karya akhlak politik. Kalaupun ada aspek politik disentuh, ia lebih menekankan kedudukan rakyat yang harus menaati pemerintah atau sultan. Sejajar dengan sistem feodalisme yang mementingkan sikap ‘unquestioning loyalty’ atau ketaatan tanpa reserve, membuka tuli, atau monoloyalitas di kalangan rakyat. Kedua, meskipun di dlam kehidupan umat Islam berpedoman pada hukum-hukum fiqih, dalam banyak hal masih berkompromi dengan hukum adat atau tradisi. Terutama dalam adat perkawinan Melayu umumnya. Dan adat pembagian pusaka di Negeri Sembilan khususnya, terlihat kompromi yang sangat mencolok. Dalam konteks Malaysia, aliran ini lebih memberi perhatian pada ilmu fiqih dan tasawuf. Perhatian pada ilmu fiqih pun terkonsentrasi pada aspek-aspek tertentu saja. Sementara itu, ilmu tauhid tidak banyak dibincangkan meskipun mendahului fiqih dari segi keutamaannya. Adapun golongan reformis, mereka berpedoman bahwa sumber utama hukum Islam ialah Al-quran dan Sunnah. Bahkan tuntutan kembali pada Al-quran dan Sunnah merupakan motto perjuangan yang mendasar. Itulah sebabnya, mereka menamakan diri sebagai AhlusSunnah wal Jamaah (di Pelis), Ansar As-Sunnah (di Malaka), atau Ittiba’us-Sunnah (di Negeri Sembilan)dan berbagai nama lain yang bermuatan makna sebagai pendukung Sunnah. Misalnya Syekh Abu Bakar Al-Anshari, dalam karyanya pada 1937 telah menekankan agar senantiasa merujuk pada AlQuran dalam menangani masalah-masalah agama. Kaum reformis memandang kritis terhadap sumber-sumber selain Al-Quran dan Sunnah, misalnya ijma dan qiyas. Khusus tentang ijma dan qiyas, mereka menyarankan agar diterima secara berhati-hati karena pemikiran manusia dapat menimbulkan kebimbangan dalam urusan agama. Akibat sikp hati-hati tersebut, golongan reformis pada hakikatnya menolak sikap taklid pada madzhan dan para ulama. Oleh karena itu, sebaian pengkaji menggelari mereka “laa madzhabiyah” (yang menolak madzhab). Dengan menolak taklid, mereka sebenarnya menggalakan ijtihad, yakni usaha besungguh-sungguh untuk memperoleh suatu hukum dengan merujuk keterangannya dari Al-Quran dan As-Sunnah. Inilah ciri kedua pemikiran reformisme, yaitu menganjurkan ijtihad dan menentang taklid. Pada umumnya perkmbangan pemikiran yang menggalakkan ijtihad dan melarang taklid memenuhi ruang surat kabar dan majalah melayu pada 1920 hingga 1930-an. Tokoh reformis yang cukup vokal menyuarakan isu ini adalah Rahim Kajai. Penolakan madzhab dan penentangan terhadap taklid di Mlaysia banyak dikaitkan dengan A. Hassan, tokoh reformis dari Persatuan Islam (Persis), Bandung. Pengaruh Persis di Malaysia berkembang melalui majalah-majalah terbitannya, dan yang lebih penting, melalui karya-karya A.Hassan sendiri yang sebagian dicetak di Malaysia. Di Perlis, isu penolakan mazhab dan penentangan taklid bergema dengan lantang melalui tokoh reformis, Syekh abu Bakar Al-Anshari. Puncak perjuangan mereka terwujud ketika pada 1959 dan 1964 ditetapkan aliran “Ahlu Sunnah wal-Jamaah” sebagai pegangan resmi dalam Undang-Undang Tubuh negeri Perlis. Artinya perlis hanya berpegang pada ajaran Al-Quran dan Sunnah, bukan pada mazhab. Paham liberal terhadap mazhab juga terdapat di kalangan tokoh- tokoh baru, di Kelantan misalnya, Datuk Yusuf Zaky Yakoob yang dikenal sebagai tokoh yang terbuka. Dia adalah anak Haji Yakoob Haji Ahmad Gajah Mati yang juga berpaham terbuka. Bagi Datuk Yusuf, ijtihad perlu digerakkan mengingat tersedianya berbagai perlengkapan dan kemudahan pada zaman modern ini. Menurutnya, sudah saatnya memulai perkembangan pemikiran Islam yang tidak terkungkung pada satu mazhab, karena persoalan-persoalan yang timbul pada zaman modern tidak mampu diatasi hanya dengan pemikiran mazhab Syafi’i. sisa-sisa Undang-Undang penjajah tahun 1904 dan 1925 yang bertujuan melenyapkan dinamika pemikiran Islam harus dihapuskan. Tokoh yang paling lantang menyuarakan isu kebebasan bermazhab adalah Haji Hasim Abdul Ghani, pemimpin Ittiba’us Sunnah dari Kuala Pilah, Negeri Sembilan. Mnurutnya, menganut suatu mazhab adalah haram karena itu kita wajib keluar darinya. Pernyataan yang berani itu telah mengundang kritik tajam dari kalangan tradisionalis. Akan tetapi, sebagai tokoh yang agresif, kritik tersebut segera dijawab oleh Hashim Abdul Ghani. Demikianlah, seperti telah ditegaskan sebelumnya, walaupun fiqh Islam meliputi munakahat, muamalat, jinayat, dan sebagainya, isu-isu yang mendominasi pemikirn golongan reformis pada umumnya masih berkisar pada masalah ibadah. Kalau dapat dinamakan ijtihad, ijtihad mereka hanya terfokus pada aspek yang tidak menyangkut masalah ekonomi dan sosial umat Islam pada umumnya. Kedua kelompok ini, secara organisatoris, dapat ditemukan pada ABIM (Angkatan Belia Islam Malaysia) sebagai kelompok reformis/modernis dan PAS sebagai kelompok tradisionalis yang dihuni oleh ulama tua tradisional walaupun pengategorian ini tidak secara mutlak. E. Persamaan dan Perbedaan Hukum di Turki dan Malaysia Berbagai persamaan hukum yang berlaku di antara kedua Negara tersebut adalah terutama terletak pada hukum materil yang secara normative memang telah diatur secara tegas dalam Al-Qur’an dan Hadits. Telah diketahui bahwa tidak ada satu pun Negara Islam atau Negara berpendudk muslim yang mengingkari kedudukan Al-Qur’an dan Hadits masing-masing sebagai sumber hukum Islam yang pertama dan kedua. Masih dalam konteks persamaan hukum terutama dalam undang-undang perkawinan Islam di Dunia Islam, ialah berkenaan dengan asas-asas atau prinsip-prinsip yang ditekankan dalam undang-undang perkawinan, yakni asas sukarela, asas partisipasi keluarga, asas mempersulit perceraian, asas monogamy, asas kematangan (kedewasaan) calon mempelai, asas memperbaiki (meningkatkan) derajat perempuan dan asas legalitas dan bahkan asas selektivitas. Sedangkan perbedaan-perbedaan yang dijumpai dalam hukum dan terutama undang-undang perkwainan Islam di Dunia Islam lebih banyak terdapat pada hal-hal yang bersifat teknis administratif. Di antaranya berkenaan dengan soal penentuan batas usia kawin (nikah). Undang-undang perkawinan Islam di Dunida Islam memang berbeda-beda dalam menentukan batas minimal usia kawin. Batas usia nikah di Turki yaitu 17 tahun (laki-laki) dan 15 (perempuan), sedangkan di Malaysia yaitu 18 tahun (laki-laki) dan 16 tahun (perempuan); dan penanggulangan praktik poligami. Di antara faktor penyebab perbedaannya ialah ditentukan karena adanya perbedaan mazhab fiqih yang dianut masing-masing masyarakat muslim Negara tersbut. Di Turki, mazhab utama yang dianutnya adalah mazhab Hanafi, namun dalam pembentukan hukum keluarga yang termuat dalam Majallah al-ahkam al adhiya, demi kepentingan umat Islam dan menjunjung tinggi nilai keadilan, peraturan tersebut tidak hanya mengambil pendapat dari mazhab Hanafi akan tetapi juga dari mazhab Hambali dan Maliki. Sedangkan di Malaysia, mazhab yang dianut mayoritas umat Islam adanya mazhab Syafi’i. Faktor penyebab perbedaan lainnya adalah adanya ketidaksamaan sistem hukum yang dianut oleh kedua Negara tersebut. Turki adalah salah satu negara Islam yang tidak pernah dijajah, selain Arab Saudi. Sistem hukum di Turki pada awal pembentukannya hanya mengambil dari pendapat mazhab yang dianutnya, namun seiring berjalannya waktu, Turki juga banyak mengadopsi dari Perancis dan Itali. Sedangkan dalam Negara Malaysia, Islam adalah merupakan agama negara sehingga dengan demikian hukum Islam dijadikan sebagai hokum Negara. Namun setelah Malaysia dijajah oleh Inggris, sistem regulasi terjadi perubahan di mana bentuk dan peraturan lokal yang berhubungan dengan praktek hukum Islam seperti pengadilan syari’ah tentang perkawinan, perceraian dan kewarisan mengikuti model Inggris. Namun setelah Malaysia merdeka dan pemerintahan Malaysia berbentuk federal 1963, telah banyak usaha untuk merespon masyarakat untuk membuat Undang-Undang Hukum Keluarga seperti di Negara bagian Johor dan Trengganu yaitu Administrasi Undang-Undang Hukum Islam dan juga negara bagian lainnya. F. Penutup Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa Negara Turki dan Malaysia sama-sama memegang prinsip syari’ah dan juga membentuk Qanun (undang-undang) Negara dalam pemerintahannya. Adapun menyangkut pembaharuan hukum, Hukum keluarga di Turki telah mengalami beberapa kali perubahan. Hukum tentang hak-hak keluarga tahun 1917 (The Ottoman Law of Family Rights / Qanun al-huquq al-Aila) diperbarui dengan Hukum Perdata Turki Tahun 1926 (Turkish civil code, 1926), kemudian diamandemen dua kali, tahapan tahun 1933-1956 dan tahun 1988-1992. Materi pembaruan hukum keluarga dalam masalah perceraian seputar persamaan hak dalam pengajuan perceraian antara suami istri dan alasan-alasan yang dijadikan dasar perceraian. Metode pembaruan yang diterapkan dalam masalah perceraian adalah maslahah mursalah. Walaupun begitu extra dan intra doctriner reform cukup mewarnai dinamika pembaruan hukum keluarga di Turki. Sedangkan di Malaysia, Adanya ketentuan memberi tahu bagi laki-laki apabila ingin menikah lagi tentang pernikahan sebelumnya kepada calon pengantin wanita kedua dan harus adanya perizinan dari pengadilan, serta ketentuan izin tertulis dari istri pertama sebagai hal yang mutlak bagi suami yang ingin menikah lagi pada perkawinan kedua dan pembentukan berbagai sanksi bagi pelanggar ketentuan poligami diatur dalam perundangan. Adapun metode atau argumentasi yang dipakai oleh perundangan Malaysia yaitu memakai metode secara normatif terhadap teks-teks al Qur'an walaupun dengan penafsiran sosiologis yang relevan dengan konteks sekarang. Demikian pula, mendasarkan pada siyasah syar'iyyah berupa adanya sangsi denda dan pidana bagi mereka yang melanggar atau persyaratan administratif izin poligami dengan persetujuan isteri sebelumnya. Argumentasi lain berupa pemikiran madzhab dengan metode penemuan hukum Islam melalui maslahah dan sadd zari’ah. Juga dilakukan secara komulatif merangkai dalil normatif dan metodologis (sadd Zariah dan Maslahah). DAFTAR PUSTAKA Abdul Rahman Haji Abdullah, Pemikiran Islam di Malaysia, (Jakarta: Gema Insani Press, t.t.). Ahmad Al-Usairi, At-Tarikh al-Islami (alih bahasa Samson Rahman, ‘Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX), (Jakarta: Akbar Medi Eka Sarana, 2003) Dedi Supriyadi, Sejarah Hukum Islam, (Bandung: Psutaka Setia, 2007). http//www.id.wikipedia.org/wiki/Turki http://www.id.wikipedia.org/wiki/Malaysia Fazlur Rahman, Islam, Alih bahasa Ahsin Mohammad, (Bandung: Pustaka, 2000). Fred R. Von der Mehden, Kebangkitan Islam di Malaysia, dalam John L. Esposito (Ed), Kebangkitan Islam pada Perubahan Sosial, (Jakarta: Bulan Bintang, 1980) ________________, Religion and Modernization in Southeast Asia, (New York: Syracuse University Press, 1986). J.N.D. Anderson, Hukum Islam di Dunia Modern, alih bahasa Machnun Husein (Surabaya: Amar Press, 1990) John. L. Esposito, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam, alih bahasa Eva Yn. dkk. (Bandung: Mizan, 2001). Imam As-Soouti, “Tokku Paluh; Mendidik Murid-Muridnya Dengan Ilmu Thariqat”, dalam Mingguan Islam, 8 januari 1988. Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara, Sebuah Studi Perbandingan Hukum Keluarga Indonesia dan Malaysia, (Jakarta-Leiden: INIS, 2002). M. Yusron Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Islam (Jakarta:LSIK dan Raja Grafindo Persada, 1995). Maek S.W. Hoyle, The Status of Women Under Islamic Law and Under Modern Islamic Legislation, (Boston: Graham Trotman, 1990). Moenawar Kholil, Kembali Kepada Al-Quran dan As-Sunnah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1986). Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), hal. 203. Muhammad Iqbal, Fiqih Siyasah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001). Noel J. Coulson, Hukum Islam dan Perspektif Sejarah, Alih bahasa Hamid Ahmad, (Jakarta: P3M, t.t.), hal. 178. Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988). Tahir Mahmood, Family Law Reform in the Moslem World (Bombay: N.M.Tripathi PVT. LTD, 1 972). _______________, Status of Personal Law in Islamic Countries: History, Texts and Analysis , Revised Edition (New Delhi: ALR, 1 995). _______________, Personal Law In Islamic Countries, Academic of Law an religion, (New Delhi: Academy of Law and Religion, 1987).

1 komentar:

  1. INGIN MERASAKAN KEMENANGAN DI DALAM BERMAIN TOGEL TLP KI ANGEN NYOMAN DI NMR 0 8 5 1 4 5 2 9 7 1 6 7 JIKA INGIN MENGUBAH NASIB KAMI SUDAH 7X TERBUKTI TRIM’S ROO,MX SOBAT



    INGIN MERASAKAN KEMENANGAN DI DALAM BERMAIN TOGEL TLP KI ANGEN NYOMAN DI NMR 0 8 5 1 4 5 2 9 7 1 6 7 JIKA INGIN MENGUBAH NASIB KAMI SUDAH 7X TERBUKTI TRIM’S ROO,MX SOBAT



    INGIN MERASAKAN KEMENANGAN DI DALAM BERMAIN TOGEL TLP KI ANGEN NYOMAN DI NMR 0 8 5 1 4 5 2 9 7 1 6 7 JIKA INGIN MENGUBAH NASIB KAMI SUDAH 7X TERBUKTI TRIM’S ROO,MX SOBAT

    BalasHapus