WELCOME TO THE RIGHTWAY
MENGGAPAI HIKMAH DARI SETIAP KEJADIAN, APA YANG TERJADI DI DUNIA BUKANLAH KEBETULAN, ALLAH SWT. TELAH MENGATUR DAN MENGENDALIKAN SEGALA SESUATUNYA, BANYAK HAL YANG TIDAK TERUNGKAP KECUALI BAGI MEREKA YANG MAU MEMIKIRKAN...
Minggu, 15 Februari 2009
Belajar Dari Pedagang
Belajar Dari Pedagang
By: Asep Awalluddin
Kita harus bisa belajar dari para pedagang, pedagang gorengan, pedagang nasi, pedagang baso atau pedagang lainnya,
Malam menjelang tidur atau pagi-pagi buta mereka sudah mempunyai planning, berupa daftar belanjaan apa yang akan mereka beli pagi esok, mereka mengkalkulasikan jumlah seluruhnya, sesuai dengan persiapan uang yang ada, pagi-pagi sekali mereka sudah menjalankan aktivitas yang sudah mereka rencanakan semalam.
Sepulang dari pasar mereka langsung mengolah bahan-bahan yang sudah dibeli untuk dibuat adonan manakan beraneka ragam.
Seharian mereka mengais rizki Allah tanpa mengenal lelah ia pikirkan.
Yang ada dibenaknya adalah ia harus bekerja maksimal, berjualan maksimal, dan barang dagangan yang habis terjual sehingga akan mendapatkan keuntungan yang maksimal pula.
Menjelang malam tiba, setelah melaksanakan aktivitas seharian dan setelah berjualan seharian,
Mereka tak langsung beranjak tidur melainkan mencoba untuk menghitung kembali hasil dagangannya sehari itu, apakah ia untung atau rugi.
Kalau ia untung, maka ia tak henti-henti bersyukur kepada Allah yang Maha Pemberi Rizki karena aktivitasnya telah membuahkan hasil yang tidak sia-sia, ia tidak lagi memikirkan berapa liter keringat yang telah mengucur dengan deras dari lubang pori-pori kulitnya karena itu semua telah terbayar dengan keuntungan yang telah ia dapatkan.
Tapi, kalau ternyata dagangannya malah rugi, ia berfikir kenapa itu bisa terjadi, ada apa dengan barang dagangannya, apakah ia salah membuat adonan sehingga tak selera bagi orang yang memandang atau mungkin rasa makanan yang tak layak untuk ditelan dan entah apalagi yang tidak sempat ia pikirkan.
Di balik kerugian yang ia dapatkan, ia terus dibayang-bayangi oleh perbuatannya yang tak berarti, sehari penuh aktivitasnya tiada arti, ia tak bisa tidur nyenyak sambil merancang hari esok agar tak terulang kembali.
Andai kita seperti mereka, mau merancang planning dengan matang sebelum melakukannya, bekerja dengan giat karena tak mau ada waktu yang terbuang sia-sia. Kemuian sebelum tidur kita menghitung dulu apa yang telah kita kerjakan seharian penuh, apakah untung atau malah buntung amal perbuatan kita?
Apakah kabaikan kita lebih banyak dari keburukan kita? Atau justru kebalikannya..???
Apabila kebaikan kita lebih banyak dari keburukannya, maka kita telah menjadi manusia yang beruntung yang harus kita syukuri karena itu adalah nikmat Allah yang dikaruniakan kepada kita.
Tapi kalau kita rugi, keburukan kita lebih banyak dari kebaikan kita. Maka kerugian dan bencana telah menimpa kita, kalau demikian apakah kita sama dengan para pedagang yang tidak bisa tidur nyenyak, atau malah mendengkur lelap, acuh tak acuh tak mau tahu atau justru kita malah sibuk harus intropeksi diri agar tak jadi terulang kembali. Tapi yang seperti ini kayaknya satu berbanding seribu manusia di dunia ini, termasuk saya sendiri yang menulis tulisan ini.
Ini bukan semata-mata "Kabura Maktan" diriku di hadapanNYA, tapi mudah-mudahan dengan tulisan ini ana sendiri terus diingatkan oleh tulisanku sendiri.
Detik-Detik Kematian
DETIK-DETIK KEMATIAN
By: Asep Awalluddin
Andai kau tau, sisa usiamu tinggal beberapa bulan ke depan,
Apa yang akan kau perbuat hari ini, esok dan seterusnya,
Apakah kau akan duduk merenung menunggu ajal menjemput tanpa harus berbuat apa-apa, atau engkau akan mengisi setiap detiknya dengan sesuatu yang berharga…???
Hidup adalah untuk mengukir sejarah, karena sejarah tidak akan lekang dimakan zaman
Kita lihat bagaiamana para Salafu Shalih mampu bertahan hidup berabad-abad,
Dengan karya-karya mereka yang masih bisa kita baca,
Dengan ruh mereka yang masih melanglang buana di seantero dunia, itu karena kesungguhan dan keikhlasan amal mereka,
Walau kita tidak tahu jasad mereka berada dimana, di belahan bumi yang mana, tapi mereka masih tetap hidup berdampingan dengan kita, itulah yang mungkin disebut oleh Allah sebagai, “Hum amwaatun bal ahyaa.” (mereka mati tapi sebetulnya mereka hidup)
Apa yang akan engkau perbuat dalam detik-detik ajalmu..?
Apa yang akan engkau wariskan buat mereka yang kau tinggalkan..??
kebaikanmu atau justru keburukan..??
Apa yang akan mereka kenang sepeninggalmu,
kenangan manis atau pahit..??? kenangan baik atau buruk..???
apakah kita menjadi manusia yang akan ditangisi sepeninggal kita…
atau justru tawa gembira bagi mereka…???
Kendaraan Manusia Yang Tidak Pernah Berhenti
Tahukah kendaraan manusia yang tidak pernah berhenti walau sesaat?
Dialah sang waktu yang tak bisa berhenti walau sekejap mata
Yang tidak bisa kembali ke belakang walau dipaksa
Namun tidak sedikit orang yang melalaikannya
Kita terkadang lupa pada tujuan awal Allah menciptakan kita, yaitu selalu tunduk dan mengabdi dihadapanNYA,
Namun, bayangkan…… dari 24 jam yang Allah sediakan sehari semalam,
Berapa jam kita habiskan waktu kita untuk mengingatNYA,
Berapa jam kita bersimpuh dihadapanNYA
Manakah yang lebih banyak, mengingatNYA atau melupakanNYA..???
Dari bangun tidur sampai Allah menidurkan kita kembali,
Aku merasa waktu dan usiaku habis terbuang sia-sia,
Aku belum berbuat apa-apa di dunia, aku belum mengukir sejarah yang berharga
Oh…Tuha…n Allahu Robbul Ízzati, janganlah dulu Kau cabut nyawa ini, sebelum kami menjadi sebaik-baik hambaMU, hamba yang bisa memberikan manfaat bagi makhluk lainnya,
Hamba yang terus berharap ridha dan kasih sayangMU terus menaungi
Dengan itu, awalilah setiap amalan kita dengan menyebut AsmaNYA,
Agar setiap langkah dan deru nafas kita bernilai ibadah di hadapanNYA.
Cahaya Kecantikan Lahir dan Batin
Cahaya kecantikan lahir adalah fana,
Ia akan semakin memudar dan terus meredup,
Seiring jarum jam berputar,
Seiring musim terus berganti,
Seiring bumi mengitari matahari,
Dan seiring bertambahnya usia,
Walau sejatinya ia terus terkikis berkurang dan habis,
Seperti roda yang aus karena perputarannya,
Sedikit demi sedikit cahaya pun menjauh dan meninggalkan pemiliknya.
Cahaya kecantikan batin adalah abadi,
Bahkan ia akan semakin memancarkan kilauan cahayanya seiring bertambahnya usia,
dan seiring kematangan jiwanya,
Bagi mereka yang terus memupuk dan membinanya,
Terus menyiraminya dengan tetesan embun penyejuk nur Ilahi,
Cahaya batin selalu menyinari bumi dan langit seisinya,
Yang menandingi cahaya malaikat yang tersebar di alam semesta,
Walaupun raga telah hancur di makan melata,
Namun kecantikannya takkan memudar sirna.
Dialah kecantikan hati yang tersembunyi
Di dalam raga yang tak kasat mata,
Beruntunglah bagi siapa yang memiliki,
Karena telah membuat kagum siapa yang melihatnya.
Selasa, 27 Januari 2009
QANUN DAN SYARI’AH DALAM SISTEM HUKUM DI SAUDI ARABIA
QANUN DAN SYARI’AH DALAM SISTEM HUKUM DI SAUDI ARABIA
Oleh: Asep Awalluddin
A. Pendahuluan
Sejarah panjang yang dilalui Saudi Arabia dimulai ketika suku bangsa Semit tinggal di semenanjung Arab sejak ribuan tahun silam. Suku Badui umumnya tinggal di pedalaman, dan beberapa suku lain tinggal di sepanjang jalur lalu lintas kafilah yang secara berkala melintasi padang pasir. Sejarah mencatat bahwa kota Mekah dan sekitarnya sebagai tempat transit pada jalur perdagangan membawa negeri tersebut ke tingkat ekonomi yang baik sebelum lahirnya Nabi Muhammad SAW.
Peran bangsa Arab semakin penting dalam percaturan dunia sesudah Nabi Muhammad SAW mengembangkan agama Islam. Setelah 13 tahun mengembangkan Islam di Mekah, Nabi Muhammad SAW bersama pengikutnya hijrah ke Madinah dan membangun sebuah Negara muslim dan melahirkan Piagam Madinah, konstitusi pertama dalam sejarah kemanusiaan, yang selalu menjadi acuan bagi Negara muslim hingga kini.
Saudi Arabia atau yang juga dikenal dengan sebutan Arab Saudi, adalah merupakan negara Arab yang terletak di Jazirah Arab. Beriklim gurun dan wilayahnya sebagian besar terdiri atas gurun pasir dengan gurun pasir yang terbesar adalah Rub Al- Khali. Orang Arab menyebut kata gurun pasir dengan kata sahara.
B. Kondisi Geografis Saudi Arabia
Pada masa dahulu daerah Arab Saudi dikenal menjadi dua bagian yaitu daerah Hijaz dan gurun Najd. Hijaz adalah daerah pesisir barat Semenanjung Arab yang di dalamnya terdapat kota-kota di antaranya adalah Mekkah, Madinah dan Jeddah, sedangkan gurun Najd yaitu daerah-daerah gurun sampai pesisir timur semenanjung arabia yang umumnya dihuni oleh suku-suku lokal Arab (Badui) dan kabilah-kabilah Arab lainnya.
Pada masa awal tumbuh dan berkembangnya Islam. Wilayah ini memiliki pusat pemerintahan di Madinah dari sejak Nabi Muhammad sampai masa khalifah Utsman bin Affan. Sejak masa khalifah Ali bin Abi Thalib pusat pemerintahan dipindahkan ke Kufah di Irak sekarang, kemudian berturut turut menjadi bagian wilayah Daulah Ummayyah, Abbasiyyah dan Utsmaniyah Turki.
Arab Saudi terletak di antara 15°LU - 32°LU dan antara 34°BT - 57°BT. Luas kawasannya adalah 2.240.000 km². dengan jumlah penduduk sebanyak 27.019.731 jiwa (sensus 2006). Arab Saudi merangkumi empat perlima kawasan di Semenanjung Arab dan merupakan negara terbesar di Asia Timur Tengah. Permukaan terendah di sini ialah di Teluk Persia pada 0 m dan Jabal Sauda' pada 3.133 m. Arab Saudi terkenal sebagai sebuah negara yang datar dan mempunyai banyak kawasan gurun. Gurun yang terkenal ialah di sebelah selatan Arab Saudi yang dijuluki "Daerah Kosong" (Rub al Khali), kawasan gurun terluas di dunia. Namun demikian di bagian barat dayanya, terdapat kawasan pegunungan yang berumput dan hijau.
Secara geografis, Negara Arab digambarkan seperti empat persegi panjang yang berakhir di Asia Selatan. Negara Arab dikelilingi berbagai Negara; sebelahutara oleh Syiria, sebelah timur oleh Nejd, sebelah selatan oleh Yaman dan sebelah barat oleh Laut Erit. Semenanjung Arab merupakan semenanjung barat daya Asia, sebuah semenanjung terbesar dalam peta dunia.
Dari sisi kondisi cuaca, Semenanjung Arab merupakan salah satu wilayah terkering dan terpanas. Meskipun diapit oleh lautan di sebelah barat dan timur, laut itu terlalu kecil untuk dapat memengaruhi kondisi cuaca Afro-Asia yang jarang turun hujan. Hanya Yaman dan Asir yang mendapatkan curah hujan yang cukup untuk bercocok tanam secara teratur. Dataran subur lainnya, meskipun tidak merata kesuburannya, bisa dijumpai di sekitar pesisir. Permukaan tanah Hadranaut dicirikan dengan perbukitan landai yang cukup banyak memilki kandungan air bawah tanah. Oman, wilayah paling timur, mendapat curah hujan yang cukup. Daerah-daerah yang sangat panas dan kering adalah Jedah, Hudaidah, dan Masqat.
C. Sejarah Singkat Kerajaan Saudi Arabia
Pemerintah Saudi bermula dari bagian tengah semenanjung (jazirah) Arab yakni pada tahun 1750 ketika Muhammad bin Sa'ud bersama dengan Muhammad bin Abdul Wahhab bekerja sama untuk memurnikan agama Islam yang kemudian dilanjutkan oleh Abdul Aziz Al Sa'ud atau Abdul Aziz Ibnu Su'ud dengan menyatukan seluruh wilayah Hijaz.
Pada tahun 1902 Abdul Aziz menguasai Riyadh dari penguasa Al-Rashid dari Najd Utara, kemudian Al-Ahsa kemudian wilayah Najd antara tahun 1913-1926. Pada tanggal 8 Januari 1926, Abdul Aziz menjadi penguasa wilayah Najd. Dengan menandatangani perjanjian di Jeddah pada tanggal 20 Mei 1927, Arab Saudi menyatakan kemerdekaannya.
Kerajaan Arab Saudi diproklamirkan secara resmi pada tanggal 23 September 1932 oleh ‘Abd Al- ‘Aziz ibn ‘Abd Al-Rahman Al-Sa’ud dan diperintah oleh keturunannya dalam bentuk pemerintahan kerajaan. Najd yang berada di Arabia Tengah, daerah ini merupakan kampung halaman keluarga penguasa Al-Sa’ud dan pusat gerakan Wahhabiyah, yang memberi alasan bagi penaklukan semenanjung ini pada abad ke-18 dan ke-20, serta membentuk karakter keagamaan pemerintah dan masyarakat di bawah pemerintahan keluarga Al-Sa’ud.
Geakan Wahhabiyah dimulai pada pertengahan abad ke-19 dengan meunculnya persekutuan antara kepela suku Najd Selatan, Muhammad ibn Sa’ud, dan seorang pembaru agama Najd, Muhammad ibn ‘Abd Al-Wahhab. Dalam ajarannya, Ibn Al-Wahhab menekankan keesaan Allah dalam praktik ritual, menekankan perlunya berprilaku yang selaras dengan hukum-hukum Al-Qur’an dan praktik-praktik yang dicontohkan dalam Sunnah Nabi.
Pada hakikatnya, pembentukan kerajaan Saudi Arabia tidak terlepas dari peran kedua tokoh tersebut. Dengan meniru metode nenek moyangnya, Abd Al-‘Aziz mencapai tujuannya dengan cara menyebarluaskan ideologi Wahhabiyah di ingkat masyarakat, mendukung pengajaran Al-Qu’ran, shalat di masjid, dan misi pengajaran di desa-desa terpencil serta di kalangan suku Badui, dan dengan menciptakan kekuatan militer, Ikhwan (persaudaraan, yang diilhami oleh semangat penaklukan melalui keimanaan.
D. Sistem Pemerintahan Saudi Arabia
Sistem pemerintahan Saudi Arabia adalah berbentuk Monarki yang berdasarkan hukum Islam. Karena Raja mengambil otoritasnya dari rakyat. Hal ini selaras dengan pendapat Munawir Syadzali, bahwa sistem pemerintahan Saudi Arabia adalah Monarki murni, karena kepala Negara adalah seorang raja yang dipilih oleh dan dari kelurga besar Saudi. Raja Saudi di samping sebagai Kepala Negara juga merupakan kepala keluarga besar Saudi.
Namun demikian, pendapat lain mengatakan bahwa model kekuasaan Saudi Arabia ini adalah model fusionis, yaitu model kekuasaan gabungan antara rakyat dengan Tuhan. Sedangkan Charles Didier berpendapat bahwa sistem pemerintahan Saudi Arabia ini adalah Teokrasi, karena dalam pemerintahannya diberlakukan hukum yang bersumber dari al-Qur’an.
Arab Saudi menempatkan Islam sepenuhnya dalam bidang struktur pemerintahan, kebijaksanaan, legitimasi, dan dalam melaksanakan setiap perubahan. Negara praktis tidak memiliki undang-undang dasar, karena sumber hukumnya adalah Islam. Sebuah badan, yang disebut Syari’ah, membuat segala peraturan untuk ketertiban masyarakat. Raja adalah penguasa eksekutif sekaligus pembuat undang-undang. Karena itu, selain mempunyai kedudukan sebagai pemimpin politik, raja berperan juga sebagai imam atau pemimpin agama.
Keluarga kerajaan meliputi beberapa ribu bangsawan yang umumnya memiliki kedudukan politik dan status sosial penting di Negara. Para pemuka bangsawan dipilih langsung oleh raja, kadang-kadang dengan pertimbangan para ulama. Pada dasarnya, kekuasaan raja didukung oleh para pemuka bangsawan, ulama, dan para pemimpin suku di daerah-daerah.
Raja juga membentuk semacam kabinet yang pada umumnya berdarah bangsawan. Para menteri dalam cabinet ini bertugas memimpin departemen masing-masing, dan memberikan saran dan usul kepada raja. Untuk mengatur daerah, raja membagi kerajaanya atas sejumlah propinsi yang dipimpin oleh para gubernur. Untuk memimpin daerah, tiap gubernur dibantu oleh sebuah dewan daerah yang anggotanya antara lain para kepala suku. Kadang-kadang kepala suku juga merangkap sebagai wali kota.
Untuk menjalankan kekuasaan kehakiman, seorang kadi mengepalai badan pengadilan. Kekuasaan seorang qadi hanya terbatas pada persoalan hukumdan peraturan yang dikeluarkan oleh syari’ah. Kalau kasusnya menyangkut peraturan yang diundangkan dengan dekrit raja, maka yang berhak mengadili bukan qadi, melainkan gubernur atau kepala daerah setempat. Hukuman cambuk, potong tangan, dan pancung masih berlaku di negeri ini.
Saudi Arabia tetap mempertahankan otoritas kegamaan dan politik tradisionalnya, yakni pertalian keluarga merupakan faktor utama dalam pemerintahan. Suatu hal yang dengan kuat dapat memberikan kesan bahwa rezim Saudi sebenarnya, bukanlah tipe kekusaan teokrasi. Sumber legitimasi mereka ada dua, yaitu paham Saudism dan Wahhabism; atau dapat dikatakan model kekuasan Dualis, sebagaimana pendapat-pendapat tersebut diatas.
Sehingga hal ini berimplikasi pada tidak terdapatnya anggota dewan yang anggota-anggotanya dipilih oleh rakyat, tidak ada partai politik dan tidak ada serikat buruh. Partai politik dianggap tidak ada gunanya, karena keadilan dianggap telah terdapat di seluruh wilayah Negara dengan syari’ah sebagai pengatur. Di samping itu, hal tersebut bertentangan dengan Al-Quran yang melarang memecah belah ummat dalam kelompok. Sementara serikat buruh ditolak dan dianggap tidak ada gunanya, karena hukum negara sepenuhnya melindungi kaum buruh: Yang ada adalah majelis syura yang anggota-anggotanya ditunjuk dan dingkat oleh raja.
Namun demikan, tidaklah mutlak dan tanpa batas, karena raja harus tunduk kepada syari’ah, sehingga pelanggaran terhadap syariah dapat dijadikan dasar untuk menurunkan raja dari tahtanya. Hal ini terjadi pada raja Sa’ud ibn Abd al-Aziz yang memerintah dari tahun 1953-1964 M. beliau diturunkan oleh suatu majelis yang terdiri atas sejumlah pangeran, ulama dan pejabat tinggi kerajaan, dengan alasan dia menghambur-hamburkan harta kekayaan Negara dalam jumlah besar dengan membangun istana-istana barunya, juga melakukan money politic kepada kepala suku dengan tujuan agar mereka dapat mendukungnya.
Dari peristiwa ini, kerajaan dilanda krisis moneter yang pada gilirannya menjelma mejadi krisis politik; sehingga pada bulan Oktober 1962 impeachment terhadap Saud pun tidak dapat dihindari. Dengan demikian ia terpaksa menyerahkan kekuasaanya kepada saudaranya, yang bernama Faisal. Tepatnya pada tahun 1964 Saud secara resmi turun dari tahtanya, kemudian Faisal pun menggantikannya sebagai raja. Faisal terus memegang kendali pemerintahan sampai ia mati terbunuh pada tahun 1975. susunan, gaya dan bahkan kebijakan-kebijakan pemerintahan Saudi Arabia, dewasa ini sebagian besar tetap sama seperti yang dicanangkan olehnya.
E. Dinamika Penerapan dan Pembaruan Hukum Islam di Saudi Arabia
Saudi Arabia adalah salah satu Negara yang tetap mempertahankan landasan tata politik dan legitimasi tradisional di tengah-tengah transformasi sosial dan ekonomi yang sangat pesat. Sebagaimana nama Saudi Arabia sebagai nama Negara yang diresmikan pada tahun 1932. Negara ini pada dasarnya merupakan hasil dari persekutuan yang terjadi di Dariyyah (pada tahun 1744 M) antara tokoh ulama yang bernama Muhammad ibn Abd al-Wahhab (1703-1792 M) dengan seorang amir Muhammad ibn Saud, dari suatu konfederasi suku-suku terkuat ‘Anaza (‘Unaiza).
Tetapi keadaan Saudi Arabia sebelum ibn Wahhab mengadakan persekutuan dengan amir ibn Saud, semenanjung Arab masih merupakan bagian dari Daulat Utsmaniyyah yang telah didominasi oleh keyakinan agama islam. Atau dalam istilah kekuasaan, model tradisional; kekuasaan pada waktu itu dipegang oleh khalifah dan sultan utsmaniyah. Jabatan intermediate, yang biasanya dipegang oleh para ulama, pada waktu itu secara praktis nampaknya kosong, sejak di bawah kekuasaan Utsmaniyah, para ulama telah berhenti mewakili apa yang mereka wakili sebelumnya pada kedaulatan Utsmaniyah dan Abbasiyah.
Pada masa ini, Muhammad ibn Abd al Wahhab menjadi salah seorang Qadhi dalam bidang peradilan. Dia mulai menerapkan hukum rajam dan hudud serta hukum-hukum lainnya dalam pengadilan. Secara umum, hukum yang diberlakukan di pengadilan adalah hukum yang sesuai al-Quran, al-Sunnah, dan hasil ijtihad para ulama salaf. Lembaga peradilan pada masa ini dinilai sangat penting, karena berhubungan langsung dengan masyarakat, baik dalam persolan-persoalan pribadi maupun sosial; jabatan Qadhi dipegang oleh orang-orang yang dinilai mampu memecahkan persoalan, melerai persengketaan dan mengeni kasus hukum yang terjadi dengan pendekatan agama. Dengan demikian agama dan Negara dikaitkan dengan pola kaitan yang sangat kuat. Dan rezim parlementer juga konstitusionl diberlakukan antara tahun 1962 dan 1967, tetapi sayang sistem ini kemudian ditinggalkan.
Tepatnya prestasi tersebut di atas berakhir secara mendadak pada tahun 1819 M ketika gubernur Utsmaniyah, Muhammad Ali menyerang Saudi dan menghancurkan ibu kotanya (Dir’iya) dan Wahabisme untuk sementara ditindas. Penyerangan ini disebabkan oleh pemerintahan Utsmaniyah di Mesir merasa terancam dengan semakin meluasnya wilayah kekuasaan Saudi. Terutama setelah penaklukan Hijaz.
Pada saat ini yang asalnya ulama mempunyai peran yang sangat strategis dalam segala bidang di seluruh jazirah Arabia, seperti sebagai penasihat politik bagi para penguasa, pimpinan peradilan, pimpinan pendidikan Islam, sebagai sumber nasihat moral dan otoritas politik baik ulama Ibadiyah, zaidiyah, Syafi’iyah maupun Wahhabiyah, menjadi berubah. Peradilan ini tidak lagi sepenuhnya berada di tangan Qadhi (para ulama) kecuali hanya menangani kasus-kasus yang berhubungan dengan hukum kekeluargaan atau perdata (al-Akhwal al-Syakhshiyah); persoalan-persoalan agama dipandang sebagai persoalan individual.
Para qadhi banyak diintervensi oleh para penguasa politik (gubernur dan syarif); sebagian besar qadhi menjadi alat politik di tangan syarif, seringkali para qadhi mendapat “hadiah” dari para syarif sebelum memproses peradilan, dengan harapan kasusnya dimenangkan oleh qadhi. Hal demikian, tentu saja, mengakibatkan lembaga peradilan tidak lagi independent. Ditambah lagi dengan diberlakukannya peradilan tradisional bagi orang-orang Arab Badui yang berdasarkan adat istiadat setempat yang kadang kala bertentangan dengan syara’. Misalkan pencurian dianggap tidak termasuk kejahatan, tapi dianggap sebagai tanda keberanian.
Padahal hingga satu atau dua dekade teakhir, jazirah Arabia ini hampir tidak terpengaruh oleh nasionalisme dan modernisme sekular, dan selalu mencurigai setiap peubahan sosial dan ideologi yang tengah berkembang di dunia arab. Baru setelah sebab yang telah disebutkan di atas, juga karena perang dunia II, jazirah arab ini menjadi sasaran bagi beberapa kekuatan yang telah berpengaruh di Timur Tengah. Beberapa organisasi pemerintahan modern dan konsep politik revolusioner segera diperkenalkan.
Kondisi yang tidak menyenangkan tersebut, bukan merupakan akhir dari persekutuan Saud-Wahhab yang menemukan ekspresi politik yang kedua kalinya ini berpusat di Riyadh dan dimulai sejak tahun 1920-an. Persekutuan itu kurang berhasil dibanding dengan yang pertama. Perlawanan dari orang-orang utsmaniyah. Pertempuran lokal dan perkelahian dalam keluarga Saud, karena memungkinkan mereka untuk memperoleh kekuasaan atas wilayah yang sekaligus memberi mereka alasan yang kuat untuk menyingkirkan ajaran-ajaran yang menyimpang dari semenanjung ini, dan hal itu juga sangat bermanfaat bagi para pengikut islam fanatik, sebab menolong mereka untuk menyebarkan agama islam. Wujud yang jelas dari gabungan-gabungan kekuatan ini terjadi pada awal abad 20 M, yaitu ketika Abd al Aziz bergerak untuk merebut menguasai kembali wilayahnya dan memperoleh hasil yang gemilang pada tahun 1924.
Pada masa ini tatanan sistem peradilan kembali berlandaskan hukum-hukum yang bersumber dari al-Quran, al-Sunnah dan pendapat ulama salaf. Sejak saat itu sampai sekarang, kedudukan qadhi kembali meningkat dan berwenang kembali mengurusi tidak hanya perkara yang termasuk dalam kategori al-Akhwal al-Sykhshiyah, tapi juga pidana. Hukum hudud kembali diterapkan dengan sanksi hukum potong kepala (pancung), rajam, cambuk dan potong tangan. Hukum ini berlaku tidak hanya bagi muslim, tapi juga bagi non muslim, misalnya pihak yang berwajib pernah menghukum cambuk beberapa orang inggris, karena menjual minuman keras kepada orang islam.
Sekarang ini ada Pengadilan Banding dan Badan Kehakiman tertinggi. Akan tetapi kata putus terakhir ada di tangan raja, melalui wakil-wakilnya (amir). Namun sekalipun demikian, para qadhi tetap memiliki kebebasan dalam memutuskan perkara dalam arti pemerintah (raja) tidak bisa dengan mudah mempengaruhinya, karena para qadhi tersebut terkenal adil, mempunyai integritas tinggi, umumnya tidak dapat disuap dan merupakan tokoh-tokoh kunci masyarakat yang nasehatnya seringkali didengar orang.
Sistem Hukum
Menurut J.N.D. Anderson, sistem-sistem hukum di dunia islam, secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga kelompok:
a. Sistem-sistem yang masih mengakui syariah sebagai hukum asasi dan kurang lebih masih menerapkannya secara utuh.
b. Sistem-sistem yang meninggalkan syariah dan menggantinya dengan hukum yang sama sekali sekuler
c. Sistem-sistem yamg mengkompromikan kedua pandangan sistem tersebut.
Dari ketiga criteria tersebut, kiranya Saudi Arabia dapat digolongkan kepada salah satu Negara yang hingga kini masih menerapkan syariah islam dalam segala aspek kehidupan sepanjang syari’ah telah mengaturnya. Negara ini belum menerima sistem hukum lain kecuali sedikit saja yang bersumber pada inspirasi barat. Seperti ardonasi (Nizam) dagang dinyatakan berlaku dan dewan (mahkamah) dagang dibentuk di Jeddah dengan maksud untuk menyelesaikan pertikaian mengenai transaksi-transaksi dagang sesuai dengan mengambil prinsip-prinip dagang Turki Utsmani tahun 1850 M yang menggabungkan antara prinsip zakat dengan aturan hukum fiskal Amerika.
Pemerintah Saudi juga telah mengundangkan peraturan perdagangan (1954), peraturan-peraturan kewarganegaraan (1954), undang-undang pemalsuan (1961), hukum perdagangan (1963), hukum perburuhan dan pekerja (1970), hukum jaminan sosial (1970) dan hukum jawatan sipil (1971). Aturan–aturan ini tidak bermaksud menyeleweng dari syariah, melainkan sekedar menjabarkan pelaksanaan melalui tindakan-tindakan administratif atau untuk melengkapinya dengan mengemukakan norma-norma dalam menangani masalah-masalah yang tidak diliputinya dengan jelas.
Di samping itu para penguasa Saudi telah menggunakan hak istimewa mereka untuk mengubah struktur tatanan hukum. Di bidang luar syariah, pada tahun 1955 telah dibentuk badan pengaduan (Diwan al-Mazalim), yang menemukan inspirasinya di dalam sejarah Abbasiyah. Dalam menghadapi pertumbuhan, dekrit-dekrit di luar hukum, pimpinan Saudi perlu mendirikan sebuah pengadilan administratif dalam rangka mendengarkan pengaduan-pengaduan. Contohnya, peraturan penanaman modal asing (1964) memberikan kekuasaan kepada pengadilan untuk menjadi juru penengah terakhir apabila seorang pengusaha merasa pemerintah telah memperlakukanya dengan tidak adil.
Para ulama memegang peranan yang cukup penting dalam pembentukan keputusan-keputusan nasional; nasihat dan fatwa mereka sering dijadikan dasar oleh raja dalam dekrit-dekritnya. Dekrit ini memiliki kekuatan yang cukup besar dalam sistem hukum di Saudi Arabia, karena kedudukan dekrit sama dengan qanun atau dalam istilah mereka (Saudi Arabia) disebut dengan istilah nizam yang ditetapkan berdasarkan maslahah (kepentingan umum). Contohnya, ketika Abd al-Aziz mendatangkan teknisi-teknisi minyak yang berasal dari orang kafir, lalu raja menyebut beberapa kasus yang telah terbukti pada masa Nabi yang pernah memperkerjakan orang-orang non muslim, baik secara individu maupun kelompok. Raja bertanya dihadapan para ulama: Apakah saya benar atau salah?” Para ulama menjawab dengan suara bulat bahwa ia benar.
Para ahli hukum Arab Saudi pada dasarnya berpegang pada madzhab Hambali, dengan memakai enam rujakan kitab, khususnya kitab Syarh al-Muntaha dan Syarh al-Iqna. Namun mereka tetap menerima pendapat madzhab lain. Sepanjang tidak bertentangan dengan madzhab Hambali secara substantif, khususnya mengenai masalah-masalah yang tidak diuraikan secara jelas atau tidak disinggung sama sekali dalam madzhab Hambali. Prinsip pokok madzhab ini adalah “asal segala sesuatu itu boleh, sampai ia terbukti haram”.
Arab Saudi adalah Negara Islam merdeka dengan corak yang khas (typical) yang kuat sekali menghargai syari’ah sebagai hukum yang mengatur setiap aspek kehidupan. Negara ini tidak “menerima” sistem hukum lain mana pun; dan ia sangat sedikit melaksanakan hukum yang bersumber pada inspirasi Barat. Memang, setiap aturan hukum yang bertentangan dengan konsep-konsep asasi Islam berarti, secara teoritis, juga bertentangan dengan hukum asasi Hijaz yang dinyatakan berlaku oleh Raja Abdul Aziz ibnu Sa’ud karena pasal 6 hukum tersebut menyatakan, “Aturan hukum di kerajaan Hijaz harus senantiasa disesuaikan dengan Kitab Ilahi (Al-Qur’an), sunah Nabi, dan perbuatan para sahabat serta para pengikut setianya.
Peraturan-peraturan baru yang muncul dewasa ini menunjukkan bahwa pembaharuan hukum Islam di Saudi menggunakan sistem adaptasi dan sudah tentu, peraturan-peraturan itu tidak menyimpang dari syariat Islam, tetapi justru melengkapinya. Selain itu, Saudi Arabia tidak memilki konstitusi resmi syariah. Semuanya dikembalikan pada Al-Qur’an sebagai konstitusinya. Dalam hal ini, Arab Saudi tidak mengodifikasikan hukum Islam pada tataran hukum positif atau diundangkan.
F. Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Saudi Arabia merupakan sebuah Negara yang tetap menerapakan dan memberlakukan hukum Islam dalam segala aspek kehidupan. Negara praktis tidak memiliki undang-undang dasar, karena sumber hukumnya adalah Islam. Raja adalah penguasa eksekutif sekaligus pembuat undang-undang. Karena itu, selain mempunyai kedudukan sebagai pemimpin politik, raja berperan juga sebagai imam atau pemimpin agama.
Namun demikian, dewasa muncul berbagai macam peraturan sebagai bentuk dari pembaharuan hukum Islam dalam pemerintah yang eksistensianya tidak bermaksud menyeleweng dari syariah, melainkan sekedar menjabarkan pelaksanaan melalui tindakan-tindakan administratif atau untuk melengkapinya dengan mengemukakan norma-norma dalam menangani masalah-masalah yang belum jelas dijabarkan.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar al-Umrusi, Al-Tasyri’ wal Qadha fil Islam, (Iskandariah: Muassasah Syubab al-Jami’ah, 1984).
Badri Yatim, Sejarah Sosial Keagamaan Tanah Suci, (Jakarta: Logos, 1949).
Charles Didier, Sajour with The Grand Sharif of Mecca, (New York: The Oleander, 1985).
Dedi Supriyadi, Sejaran Hukum Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2007).
Dewan Redaksi, EnsiklopediIslam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997).
Edward Mortimer, Faith and Power: The Politics of Islam, terj. Enna Hadi dan Rahmani Astuti. (Bandung: Mizan, 1984).
H. Lammens, S.J., Islam: Beliefs and Institutions, (New Delhi: Oriental Books Reprint Corporation, 1979).
John L. Esposito [ed], Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, (Bandung: Mizan, 2001), jilid 1.
______________, Identitas Islam Pada Perubahan Sosial Politik, (Jakarta: Bulan Bintang, 1986).
Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, (Jakarta: RajaGrafindo, 1999), bag. 3.
Munawir Syadzali, Islam dan Tata Negara, (Jakarta: UI Press, 1993).
Mehdi Muzaffari, Kekuasaan dalam Islam, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1994).
James P. Piscatory, Idiological Politic in Saudi Arabia, Penyunting Harun Nasution dan Azyumardi Azra dalam “Perkembangan Modern dalam Islam”, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985).
Philip K. Hitti, History of The Arab, pent. R. Cecep Likman Yasin, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2006).
J.N.D. Anderson, Islamic Law In The Modern World. Terj. Machnun Husain, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994).
www. id.wikipedia.org/wiki/Arab_Saudi
Label:
abd al-aziz,
arab,
hambali,
hukum,
islam,
jazirah,
madzhab,
qanun,
saudi arabia,
syari'ah,
ulama
PERBANDINGAN SISTEM HUKUM DI NEGARA TURKI DAN MALAYSIA
PERBANDINGAN SISTEM HUKUM DI NEGARA
TURKI DAN MALAYSIA
Oleh: Asep Awalluddin
A. Pendahuluan
Pengodifikasian hukum Islam, sebelumnya masih termuat dalam kitab-kitab fiqih, menjadi Undang-Undang adalah prestasi tersendiri bagi umat Islam. Hukum Islam yang termuat dalam kitab-kitan fiqih ini, sebenarnya telah menjadi hukum dalam kehidupan umat Islam, beberapa abad lamanya. Aka tetapi, upaya penghimpunan (kodifikasi) dalam suatu kitab Undang-Undang baru dimulai oleh Turki, dengan dibentuknya Majallah Al-Ahkam Al-Adliyah. Tujuannya adalah dengan hukum, Islam dapat dioperasionalkan dengan mudah oleh umat Islam.
Di samping itu, keberadaan Undang-Undang ini secara khusus berujuan untuk kepentingan peradilan akan rujukan hukum yang mudah diperoleh, serta mengambil landasan hukum yang kuat yang telah dipraktikkan oleh umat Islam.
Kodifikasi hukum Islam yang dimulai di Turki, ternyata berpengaruh besar terhadap negara-negara Islam. Secara ringkas, di setiap negara-negara Islam, proses kodifikasi tentu mengikuti mazhab setempat yang dianut oleh masyarakatnya dan kecenderungan mazhab negara. Upaya menjadikan hukum Islam sebagai Undang-Undang sebenarnya merupakan wewenang umat Islam, melalui para ulama, cendekiawan, dan umara. Pengembangan segi-segi relevan itu tentunya memerlukan institusi-institusi hukum pada setiap pemerintahan. Oleh karena itu, pengembangan institusi hukum Islam memerlukan penanganan pemerintah. Penangannya, paling tidak, melalui tiga aspek, yaitu institusi peradilan, kodifikasi hukum Islam, dan organisasi hukum Islam.
Pembahasan makalah ini ialah mengenai prinsip-prinsip syariah dan qanun yang berlaku di Negara Islam dan juga pembaruan hukumnya. Mengenai definisi dunia Islam, seperti dikemukakan Ahmad Al-Usairi adalah negeri-negeri atau negara-negara yang presentase penuduk muslimnya lebih 50% dari keseluruhan jumlah penduduk. Pertimbangan jumlah ini merupakan pertimbangan pertama dan terpenting dibandingkan dengan pertimbangan-pertimbangan yang lain.
Selain pertimbangan jumlah penduduk, juga terdapat pertimbangan lain, yaitu pertimbangan Undang-Undang –dalam kaitan ini Undang-Undang Islam- yang diberlakukan pada sebuah negara. Jika suatu negara dipimpin oleh orang yang beragama Islam, maka layak dipertimbangkan status keislaman negara yang dipimpinnya. Sebab, selain sebagai simbol yang mencerminkan personifikasi penduduk negara yang bersangkutan, bagaimanapun seorang kepala negara akan memiliki peranan dan pengaruh yang sangat besar dalam mengambil keputusan terhadap hal-hal yang sangat strategis. Termasuk di dalamnya tentang pemberlakuan sistem hukum di negara yang dipimpinnya.
Dalam pada itu, dilihat dari sudut pandang agama Islam dan penduduk muslim, negara-negara di muka bumi ini secara umum dapat dibedakan ke dalam tiga kategori (kelompok), yakni (1) kelompok negara-negara Islam, (2) kelompok negara-negara yang berpenduduk mayoritas muslim, dan (3) kelompok negara-negara yang berpenduduk muslim minoritas. Yang dimaksud dengan negara-negara Islam ialah negara-negara yang secara eksplisit dan atau formal konstitusional menyatakan dirinya sebagai negara Islam, seperti Arab Saudi, Iran, Sudan, dan lain-lain. Termasuk dalam kategori negara Islam formal-konstitusional adalah Brunei Darussalam dan Malaysia, yang masing-masing konstitusinya bahwa agama resmi negara adalah Islam.
Adapun yang dimaksud dengan negara-negara yang berpenduduk mayoritas muslim ialah negara-negara yang warga negara dan penduduknya mayoritas (lebih 50%) memeluk agama Islam meskipun konstitusimya tidak secara eksplisit menyebutkan diri sebagai negara Islam, seperti Indonesia, Mesir, Turki, dan lain-lain. Sedangkan yang dimaksud dengan negara-negara berpenduduk muslim minoritas ialah negara-negara yang penduduk atau warga-negara muslimnya relatif lebih sedikit (kurang dri 50%) dibandingkan dengan kebanyakan warga negara/penduduk negara bersangkutan yang memeluk agama selain Islam seperti Filipina, India, Myanmar, Singapura, Thailand, dan lain-lain.
B. Sekilas Tentang Negara Turki dan Malaysia
1. Negara Turki
Negara Turki lahir dari reruntuhan kesultanan Usmaniyah pasca perang dunia I yang terletak di Asia kecil (Anatolia) yang didirikan oleh Mustofa Kemal Attaturk. Turki merupakan negara sekuler pertama di dunia Islam. Negara yang berdekatan dengan benua eropa ini memproklamirkan diri sebagai negara republik pada tahun 1923.
Menurut data tahun 1992 Negara Turki berpenduduk 58.436.000, sedangkan pada tahun 2007 telah berkembang menjadi 70.586.256. 98 % di antaranya merupakan muslim yang mayoritas bermazhab sunni. Penduduk Turki banyak yang secara sadar tidak menjalankan syari’at Islam sebagai akibat kebijakan sekularisasi yang diterapkan.
Gerakan tanzimat yang dikumandangkan oleh Turki Muda meupakan awal pembaruan Turki di bidang militer, ekonomi, sosial, keagamaan. Gerakan tanzimat didasari oleh pemikiran barat dan meninggalkan pola dasar syari’at Islam.
Penyingkiran Islam oleh pemerintah Turki salah satunya tercermin dari penghapusan kalimat “agama Negara Turki adalah Islam” yang semula terdapat pada pasal 2 konstitusi negara. Pemerintah Turki juga membentuk komite untuk mengkaji pembaruan Islam. Tujuan komite tersebut lebih bersifat politis yaitu memisahkan seluruh lembaga sosial, pendidikan dari yurisdiksi para pemimpin agama beserta sekutu-sekutu politik mereka, serta meletakkannya ke dalam yurisdiksi direktorat urusan agama.
Rezim yang berkuasa menjadi lebih sekuler ketika Islam “dinasionalisasi” pada bulan Januari 1932; al-Qur’an dibaca dalam bahasa Turki, Setahun kemudian muncul kebijakan tentang azan yang berbahsa Turki. Walaupun begitu Islam tetap digalang demi tujuan-tujuan kewarganegaraan, seperti seruan agar masjid-masjid terus menyebarkan propaganda untuk mendukung perekonomian nasional.
Penerjemahan al-Qur’an dalam bahasa Turki yang dilakukan oleh Pemerintahan Mustofa Kemal Attaturk dilakukan tanpa menyertakan teks aslinya (bahasa Arabnya). Walaupun begitu teks Arabnya masih tetap dipakai dalam shalat. Dalam perkembangannya ada kecenderungan orang-orang Turki kembali pada teks Arab dalam membaca al-Qur’an. Sedangkan penerjemahan al-Qur’an ke dalam bahasa setempat dilakukan untuk lebih memahami teks al-Qur’an.
2. Negara Malaysia
Malaysia adalah sebuah negara yang terletak di Asia Tenggara. Malaysia mempunyai dua kawasan utama yang terpisah oleh Laut Cina Selatan, yaitu: Semenanjung Malaysia (Malaysia Barat), berbatasan dengan Thailand di utara dan Singapura di selatan; dan Malaysia Timur, di bagian utara Pulau Kalimantan yang berbatasan dengan Indonesia di selatan dan Brunei di utara.
Kerajaan Melayu yang paling awal tercatat dalam sejarah tumbuh dari kota-pelabuhan tepi pantai yang dibuat pada abad ke-10. Di dalamnya termasuk Langkasuka dan Lembah Bujang di Kedah, dan juga Beruas dan Gangga Negara di Perak dan Pan Pan di Kelantan. Diperkirakan semuanya adalah kerajaan Hindu atau Buddha. Islam tiba pada abad ke-14 di Terengganu.
Awal abad ke-15, Kesultanan Malaka didirikan oleh dinasti yang dimulai oleh Parameswara dari Palembang, Indonesia. Dengan Melaka sebagai ibu kota, kesultanan ini mengontrol wilayah yang sekarang disebut Semenanjung Malaya, selatan Thailand (Pattani, dan pantai timur Sumatra). Kerajaan ini berlangsung selama lebih dari satu abad, dan dalam periode tersebut menyebarkan Islam ke seluruh Kepulauan Melayu. Melaka sebagai pelabuhan perdagangan penting yang terletak hampir di tengah-tengah rute perdagangan Cina dan India.
Menyusulnya pendudukan Jepang selama Perang Dunia II, dukungan penduduk untuk merdeka mulai tumbuh, diikuti dengan gangguan komunis. Rencana Britania Raya setelah perang untuk membentuk "Malayan Union" (Persatuan Malaya) dikacaukan oleh oposisi Melayu yang kuat yang menginginkan sistem Melayu yang layak, dan menginginkan hanya satu kewarganegaraan, bukan dwikewarganegaraan, yang dapat memberikan komunitas imigran yang dapat mengklaim kewarganegaraan Malaya dan negara asal mereka. Kemerdekaan dicapai pada 31 Agustus 1957 dengan nama Federasi Malaya.
Federasi baru di bawah nama Malaysia dibentuk pada 16 September 1963 melalui penggabungan Federasi Malaya dengan koloni-koloni Britania Raya lainnya, yaitu Singapura, Borneo Utara (kemudian dinamakan Sabah), dan Sarawak, dua koloni terakhir berada di pulau Borneo.
Federasi Malaysia merupakan sebuah negara monarki konstitusional. Malaysia diketuai oleh seorang raja yang biasa dikenal dengan nama Yang di-Pertuan Agong yang dipilih oleh dan dari 9 sultan negara bagian-negara bagian Malaysia yang dipimpin sultan untuk menjabat selama lima tahun secara bergilir.
Sistem ini berdasarkan Westminster karena Malaysia merupakan bekas tanah jajahan Britania Raya. Kekuasaan pemerintahan lebih banyak dipegang oleh cabang eksekutif dibandingkan yudikatif. Pemilu biasa diadakan setiap 5 tahun sekali.
Kekuasaan eksekutif ditetapkan oleh kabinet yang dipimpin oleh Perdana Menteri. Berdasarkan Konstitusi Malaysia, Perdana Menteri haruslah seorang anggota Dewan Rakyat, yang menurut pendapat Yang di-Pertuan Agong, mendapat dukungan mayoritas dalam parlemen. Sedangkan kabinet merupakan anggota parlemen yang dipilih dari Dewan Rakyat atau Dewan Negara.
Parlemen terbagi atas Dewan Rakyat dan Dewan Negara. Dewan Negara mempunyai 70 orang senator (panggilan yang diberikan kepada anggota Dewan Negara). Pemilihan anggotanya bisa dibagi dua:
1. 26 anggota dipilih oleh Dewan Undangan Negeri sebagai perwakilan 13 negara bagian (setiap negara bagian diwakili oleh dua orang anggota).
2. 44 anggota yang dilantik oleh Yang di-Pertuan Agong atas nasihat Perdana Menteri, termasuk dua anggota dari Wilayah Persekutuan Kuala Lumpur, dan satu anggota masing-masing dari Wilayah Persekutuan Labuan dan Putrajaya.
Dewan Rakyat mempunyai 222 anggota, dan setiap anggota mewakili satu konstituen. Mereka dipilih atas dasar dukungan banyak pihak melalui pemilu. Setiap anggota Dewan Rakyat memegang jabatan selama lima tahun. Kekuasaan yudikatif dibagikan antara pemerintah persekutuan dan pemerintah negara bagian.
C. Prinsip-Prinsip Syari’ah dan Qanun di Negara Turki dan Malaysia
1. Prinsip-Prinsip Syari’ah dan Qanun di Negara Turki
Diskursus mengenai implementasi syari’ah Islam di Turki tidak bisa terlepas dari masalah periodisasi. Hal ini penting untuk diketahui karena dapat dijakdikan tolak ukur atau perbandingan antara kemajuan dan kemunduran pada beberapa periode. Uraian periode tersebut adalah sebagai berikut:
- Periode awal (1280 – 1413)
- Periode restorasi (1413 – 1451)
- Periode Puncak (1451 – 1566)
- Periode desentralisasi dan reformasi tradisional (1566 – 1808)
- Periode reformasi modern hingga kehancuran dinasti (1808 – 1924).
Namun dalam pembahasan ini hanya akan diuraikan dari Periode Puncak sampai masa kehancuran dinasti.
Periode puncak (1451- 1566) atau masa keemasan dinasti Utsmaniyah dapat disimpulkan dengan dua hal. Pertama, dari sudut politik, yang wilayah kekuasaan dinasti Utsmaniyah itu telah menyebar ke wilayah Eropa; kedua, dari sudut yurisdiksi atau implementasi syaria’t Islam. Dalam hal ini ada dua bentuk tasyri’ Islam yang telah dilakukan oleh bangsa Turki, yaitu pertama, dari sudut substansi (intisari) pelaksanaan ajaran Islam yang berhubungan dengan Tuhan (Allah), seperti shalat, puasa dan lain sebagainya. Dengan demikian secara jure (konstitusi) Turki, hal tersebut tidak diundangkan secara resmi, karena hal tersebut telah menunjukkan bahwa Turki telah dapat melaksanakan syari’at Islam. Dan kedua, dari sudut formal (legal), dimana dalam periode ini telah dirumuskan al-Qanun oleh Sulaeman.
Selanjutnya dalam periode desentralisasi dan reformasi tradisional, tidak banyak hukum Islam yang dibahas, akan tetapi hanya sedikit gambaran mengenai perubahan dalam struktur kenegaraan (Hukum Tata Negara Turki), yaitu sebuah reformasi dari dalam. Hal ini dapat diketahui dari perubahan sistem kekuasaan sulthan atau khalifah. Sedangkan pada periode pertama sampai periode puncak kekuasaan pemerintahan Turki, kewenangan atau kebijakannya cenderung khalifah oriented. Namun dalam periode ini sulthan atau khalifah mendelegasikan wewenangnya kepada para ketua Diwan untuk mengmbil kebijakannya sendiri sesuai daerah yang mereka kuasai.
Menginjak pada periode reformasi sampai kepada saat kehancuran Dinasti Utsmani, masalah hukum dan perundang-undangan Negara Turki menjadi komplek, pada satu sisi perlu adanya standarisasi “taqnin” yang akan dijadikan rujukan para hakim di Turki dalam mengambil kebijakannya atau putusannya atas suatu masalah, di pihak lain materi dan sistem kodifikasi perundang-undangannya banyak mengadopsi sistem perundang-undangan dan materi Barat (non-muslim).
Untuk lebih jelasnya mengenai kompleksitas masalah tata hukum Islam di Turki, dapat diuraikan sebagai berikut.
Pada abad ke-19, sulthan Turki telah mengambil suatu kebijakan dalam tata hukum di Turki, yaitu dengan membuat kodifikasi hukum dan peradilan sesuai dengan syari’ah. Ilmu hukum ajaran Hanafi menjadi prioritas utama untuk diterapkan dalam tata peradilan Turki pada kasus-kasus tertentu. Namun dalam perjalanannya para hakim Turki mendapatkan tekanan dari para penguasa negeri untuk mengaplikasikan materi hukum Barat. Yang kemudian ditindaklanjuti dengan dekrit Sultah yaitu Hatt-e Hariff yang menetapkan pola lagalisasi modern dan hukum perdagangan yang baru (keduanya bersumber pada pemikiran Non Hanafi dan sebagian diambil dari hukum Perancis) yang ditetapkan pada tahun 1850 dan tahun 1858, sistem yang dianutnya juga dualisme (ambivalencionalistik), yaitu ada yang bersumber dari hukum Islam dan yang tidak berdasarkan hukum Islam yang berfungsi untuk mengelola masalah-masalah hukum cabang lainnya (kasus-kasus tertentu).
Proses modernisasi hukum Turki terus berlangsung mengadopsi hukum-hukum dari Perancis (kode Perancis). Dan sebagiannya lagi disempurnakan dari hukum Itali. Hukum Islam seperti Hadd dihapuskan kecuali hukum mati dan murtad.
Untuk menetapkan hukum-hukum di atas, dibuatlah peradilan sekuler (nidhomiyah). Dan semua Yuridiksi perdata sudah nasuk dalam wilayah peradilan Nidhomiyah, maka kewajiban hukum dasar dikodifikasikan dalam suatu himpunan (kompilasi) yang dikenal dengan istilah “Al-Majallah Al-Adliyah”. Undang-Undang ini tidak didasarkan pada hukum Eropa, akan tetapi didasarkan pada hukum Hanafi, yang tujuannya adalah untuk keseragaman para hakim dalam mengambil kebijakan atau keputusan.
2. Prinsip-Prinsip Syari’ah dan Qanun di Negara Malaysia
Di Malaysia, Islam dinyatakan sebagai agama resmi, namun demikian Negara menjamin bahwa setiap kelompok agama berhak mengurusi masalahnya sendiri. Apabila orang non-Islam dilindungi secara konstitusional dan legal, maka muslim berada dibawah hukum Islam, dimana Sultan yang mengurus kepentingan mereka dan pengadilan agama digunakan untuk mengawasi agama tersebut.Teks pasal yang berkenaan dengan ini menyebutkan:
Hukum Islam serta hukum pribadi dan keluarga dari orang-orang beragama Islam, termasuk hukum Islam yang berkenaan dengan warisan, ada tidaknya warisan, pertunangan, perkawinan, perceraian, perwalian, pemberian, pembagian harta benda dan barang-barang yang dipercayakan, wakaf Islam, penentuan dan pengaturan dana sosial dan agama, penunjukan wali dan pelembagaan orang-orang berkenaan dengan lembaga-lembaga agama dan sosial Islam yang seluruhnya beroperasi di dalam negara, adat Melayu, zakat fitrah, dan baitul mal atau pendapatan Islam yang serupa dengan itu....
Jadi dalam situasi ini Islam adalah agama negara sedangkan hukum Islam mengatur tingkah laku orang-orang yang beriman, namun secara konstitusional kelompok agama lain juga diberi kebebasan untuk melaksanakan agama mereka menurut kehendak mereka.
Mayoritas muslim di Malaysia adalah pengikut madzab Syafi’i, hal ini lebih jelas lagi dalam praktek kehidupan beragama khususnya berhubungan dengan hukum Islam seperti dalam hukum keluarga dan warisan masih tetap mengikuti aliran madzab tersebut. Walau demikian dalam realitasnya penentuan praktek hukum Islam ini harus atas kendali Sultan-Sultan yang memimpinnya mengingat Semenanjung Malaysia pada waktu itu memang dikuasai beberapa kerajaan Islam yang dipimpin langsung oleh Sultan seperti di kerajaan Johor, Malaka, Kelantan dan Trengganu.
Selama penjajahan Inggris, sistem regulasi terjadi perubahan di mana bentuk dan peraturan lokal yang berhubungan dengan praktek hukum Islam seperti pengadilan syari’ah tentang perkawinan, perceraian dan kewarisan mengikuti model Inggris. Keadaan seperti ini berlanjut sampai Malaysia meraih kemerdekaannya. Setelah dapat melepaskan diri dari Inggris dan pemerintahan Malaysia berbentuk federal 1963, telah banyak usaha untuk merespon masyarakat untuk membuat Undang-Undang Hukum Keluarga seperti di Negara bagian Johor dan Trengganu yaitu Administrasi Undang-Undang Hukum Islam dan juga negara bagian lainnya seperti Kedah, Malaka, Negeri Sembilan, Penang, Perlak, Perlis dan Selangor dengan administrasi Undang-Undang hukum muslim. Begitu juga di negara bagian Serawak dan Sabah di mana muslim minoritas, tetap memberlakukan Undang-Undang Mahkamah Melayu 1915.
Selama tahun 1983-1985 terjadi usaha untuk menyegarkan legislasi di Malaysia dalam bidang Hukum Keluarga yang diterapkan di beberapa negara bagian. Undang-Undang Hukum Keluarga Islam 1984 ini berisi 135 pasal yang terbagi dalam 10 bagian.
Usaha penyeragaman Undang-Undang Keluarga Islam di Malaysia pernah dilakukan yang diketuai oleh Tengku Zaid. Tugas komite ini adalah membuat draf Undang-Undang Keluarga Islam. Setelah mendapat persetujuan dari majelis raja-raja, draf ini disebarkan kepada negara bagian untuk dipakai sebagai Undang-Undang Keluarga. Sayangnya tidak semua negeri menerima isi keseluruhan Undang-Undang tersebut. Kelantan Misalnya melakukan perbaikan atas draf. Akibatnya Undang-Undang Keluarga Islam yang berlaku di Malaysia tidak seragam sampai sekarang.
Perbedaan di atas bisa saja diakibatkan masing-masing negara bagian mempunyai tujuan sendiri dalam pembentukan Undang-Undang-nya. Bagi Perlak, Selangor, Negeri Sembilan dan Akta Wilayah pembentukan Undang-Undang perkawinan daerah ini bertujuan untuk mengubah beberapa hal di bidang perkawinan, perceraian, nafkah, hadanah dan perkara lain yang berhubungan dengan kehidupan keluarga, maka pembentukan di sini hanya mengubah sebagian saja. Sedangkan Undang-Undang keluarga bertujuan untuk menyatukan Undang-Undang yang berkaitan dengan keluarga Islam dalam berbagai bidang dan perkara supaya menjadi lebih mengikat.
Berarti Undang-Undang ini bertujuan untuk membuat suatu peraturan yang komprehensif dan agar Undang-Undang tersebut dipatuhi dan diikuti. Sementara Kelantan selain untuk penyatuan juga untuk meperbaharui Undang-Undang yang ada. Akhirnya tujuan pembentukan Perundangan di bidang perkawinan di Malaysia adalah untuk meninggikan status wanita dan mengubah peraturan hukum syari’ah mengenai keluarga.
D. Pembaharuan Hukum Islam di Negara Turki dan Malaysia
Pembaharuan hukum Islam di suatu Negara, menurut Anderson terbagi dalam tiga kategori. Pertama, beberapa negera yang sama sekali tidak melakukan reformasi hukum Islam dan tetap mengaplikasikan hukum yang ada dalam kitab-kitab fiqih sesuai dengan mazhab yang mereka anut. Negara yang termasuk dalam kategori ini adalah Arab Saudi.
Kedua, beberapa Negara yang meninggalkan hukum Islam dan menggantikannya dengan hukum sekuler yang biasa diterapkan di Eropa. Turki adalah salah satu Negara dalam kategori ini.
Ketiga, beberapa Negara yang mereformasi hukum Islam dengan mengkombinasikannya dengan hukum sekuler. Negara yang termasuk dalam kategori ini adalah Mesir, Tunisia, Iraq, Syiria, Indonesia, dan juga termasuk Malaysia.
1. Pembaharuan Hukum Islam di Negara Turki
Legislasi hukum-hukum baru untuk melengkapi hukum Islam dalam skala besar telah dilakukan oleh penguasa-penguasa Turki Usmani pada abad ke-10 H/16 M yang menghasilkan qanun (canon). Qanun adalah produk kesultanan, dan bukan produk kekhalifahan.
Pembaruan hukum Islam dalam format perundang-undangan hukum keluarga dimulai pada tahun 1917 dengan disahkannya the ottoman law of family rights (Undang-undang tentang hak-hak keluarga) oleh Pemerintah Turki. Pembaruan hukum keluarga di Turki merupakan tonggak sejarah pembaruan hukum keluarga di dunia Islam dan mempunyai pengaruh yang besar terhadap perkembangan hukum keluarga di negara-negara lain.
Hukum keluarga mempunyai posisi yang penting dalam Islam. Hukum keluarga dianggap sebagai inti syari’ah. Hal ini berkaitan dengan asumsi umat Islam yang memandang hukum keluarga sebagai pintu gerbang untuk masuk lebih jauh ke dalam agama Islam. Hukum keluarga selama berabad-abad diakui sebagai landasan bagi pembentukan masyarakat muslim. Secara global dapat dikatakan hanya dalam hukum keluarga syaria’at Islam masih berlaku bagi ratusan juta atau lebih umat Islam sedunia.
Pembaruan hukum keluarga di negara-negara Islam selalu melahirkan perdebatan di kalangan modernis-progresif dan tradisionalis- konservatif. Pembaruan hukum keluarga setidak-tidaknya berkaitan dengan materi hukum yang dianggap out of date yang dilakukan dengan metode-metode tertentu. Pembaruan hukum keluarga di Turki menarik untuk disingkap lebih lanjut, mengingat Turki adalah negara pertama di dunia Islam yang menggangas pembaruan yang radikal.
Turki mempunyai peran penting dalam sejarah hukum Islam, terutama di asia barat. Hukum perdata Turki pada awalnya didasarkan pada mazhab Hanafi, namun kemudian juga menampung mazhab-mazhab lain, seperti dalam Majallah al-ahkam al-adhiya yang telah dipersiapkan sejak tahun 1876, namun di dalamnya tidak terdapat aturan tentang hukum keluarga.
Aturan hukum yang berkaitan dengan perkawinan dan perceraian mulai dirintis tahun 1915. Materi perubahan pada tahun tersebut adalah kewenangan (hak) untuk menuntut cerai yang menurut mazhab Hanafi hanya menjadi otoritas suami. Seorang isteri yang ditinggal pergi oleh suaminya selama bertahun-tahun atau suaminya mengidap penyakit jiwa ataupun cacat badan tidak dapat dijadikan dasar bagi isteri untuk meminta cerai dari suaminya.
Pada tahun yang sama dikeluarkan dua ketetapan umum. Pertama, dalam rangka menolong para isteri yang ditinggalkan suaminya secara resmi didasarkan pada mazhab Hambali (juga ajaran mazhab Maliki sebagai alasan pendukung). Kedua, dalam rangka memenuhi tuntutan perceraian dari pihak isteri dengan alasan suaminya mengidap penyakit tertentu yang membahayakan kelangsungan rumah tangga.
Hukum tentang hak-hak keluarga (The Ottoman Law of Family Rights / Qanun al-huquq al Aila) yang dirintis sejak tahun 1915 kemudian diundangkan pada tahun 1917 adalah hukum keluarga yang diundangkan pertama kali di dunia Islam. Hukum tentang hak-hak keluarga tahun 1917 yang dikeluarkan oleh Pemerintahan Turki Usmani mengatur tentang hukum perorangan dan hukum keluarga (tidak termasuk waris, wasiat dan hibah). Undang-undang ini bersumber pada berbagai mazhab sunni Hukum tentang hak-hak keluarga tahun 1917 dalam bagian tertentu berlaku bagi golongan minoritas Yahudi dan Nasrani, karena undang-undang tersebut dimaksudkan untuk menyatukan yurisdiksi hukum pada pengadilan-pengadilan nasional. Undang-undang yang terdiri dari 156 pasal ini hanya berlaku singkat selama dua tahun, namun munculnya undang-undang ini memberikan inspirasi bagi negara lain untuk mengadopsinya dengan beberapa modifikasi.
Beberapa tahun setelah pencabutan Hukum tantang hak-hak keluarga tahun 1917 situasi politik di Turki memberikan sedikit ruang untuk melakukan pembaruan hukum. Pasca konferensi Perdamaian Laussane tahun 1923, pemerintah Turki membentuk komisi hukum untuk mempersiapkan hukum perdata baru. Komisi tersebut berusaha menempatkan Hukum tentang hak-hak keluarga tahun 1917, Majallah al-ahkam al adhiya tahun 1876 dan hukum tradisional yang tidak tertulis ke dalam hukum baru yang menyeluruh. Namun perbedaan pendapat yang tajam di kalangan modernis dan tradisional – seperti pengambilan materi dari mazhab yang berbeda dalam hukum Islam, yang bersumber dari hukum adat atau hukum luar – menjadikan komite hukum kacau dan dibubarkan.
Guna mengisi kekosongan hukum pasca kegagalan komisi hukum tersebut Pemerintah Turki mengadopsi hukum perdata Swiss tahun 1912 (The civil code of Switzerland, 1912) dengan beberapa perubahan yang disesuaikan dengan kondisi Turki dan diundangkan dalam hukum perdata Turki tahun 1926 (The Turkish civil code of 1926). Dalam beberapa hal ketentuan dalam hukum perdata Turki tahun 1926 sangat menyimpang dari hukum Islam tradisonal, seperti ketentuan waris dan wasiat yang mengacu pada hukum perdata Swiss tahun 1912.
Materi yang menonjol dalam hukum perdata Turki tahun 1926 adalah ketentuan-ketentuan tentang pertunangan (terutama masalah ta’lik talak), batas usia minimal untuk kawin, larangan menikah, poligami, pencatatan perkawinan, pembatalan perkawinan, perceraian, dan lain-lain.
Menurut hukum perdata Turki tahun 1926, seorang suami atau isteri yang hendak bercerai diperbolehkan melakukan pisah ranjang. Jika setelah pisah ranjang dijalani pada waktu tertentu tidak ada perbaikan kondisi rumah tangga, maka masing-masing pihak mempunyai hak untuk mengajukan cerai di pengadilan.
Ketentuan tentang perceraian diatur pada Pasal 129 – 138 Hukum Perdata Turki tahun 1926. Suami atau isteri yang terikat dalam sebuah ikatan perkawinan dapat mengajukan perceraian kepada pengadilan dengan alasan-alasan yang telah ditentukan sebagai berikut:
1. Salah satu pihak berbuat zina.
2. Salah satu pihak melakukan percobaan pembunuhan atau penganiayaan berat terhadap pihak lainnya.
3. Salah satu pihak melakukan kejahatan atau perbuatan tidak terpuji yang mengakibatkan penderitaan yang berat dalam kehidupan rumah tangga.
4. Salah satu pihak meninggalkan tempat kediaman bersama (rumah) tiga bulan atau lebih dengan sengaja dan tanpa alasan yang jelas yang mengakibatkan kerugian di pihak lain.
5. Salah satu pihak menderita penyakit jiwa sekurang-kurangnya 3 tahun atau lebih yang mengganggu kehidupan rumah tangga dan dibuktikan dengan surat keterangan ahli medis (dokter).
6. Terjadi ketegangan antara suami isteri secara serius yang mengakibatkan penderitaan.
Seiring dengan perkembangan zaman Hukum Perdata Turki tahun 1926 mengalami dua kali proses amandemen. Amandemen tahap pertama terjadi pada kurun waktu 1933 – 1956. Hasil amandemen ini antara lain berkaitan dengan ganti kerugian, dispensasi kawin, pasangan suami isteri diberi kesempatan untuk memperbaiki hubungan ketika pisah ranjang, juga penghapusan segala bentuk perceraian di luar pengadilan, serta tersedianya perceraian di pengadilan yang didasarkan pada kehendak masing-masing pihak (Pasal 125-132). Di samping itu pembayaran ganti kerugian terhadap pihak yang dirugikan akibat perceraian dapat dilaksanakan jika didukung dengan fakta dan keadaan kuat.
Proses amandemen kedua terhadap Hukum Perdata Turki tahun 1926 berlangsung pada tahun 1988-1992. Amandemen tahun 1988 memberlakukan perceraian atas kesepakatan bersama ( divorce by mutual consents) , nafkah istri dan penetapan sementara selama proses perceraian berlangsung. Amandemen tahun 1990 berkaitan dengan pertunangan, pasca perceraian dan adopsi. Proses amandemen yang dilakukan oleh legislatif tersebut berakhir tahun 1992.
Materi amandemen tahun 1990 yang berkaitan dengan perceraian, antara lain :
1. Salah satu pihak dapat mengajukan cerai atas dasar perwujudan dari ketidakcocokan tabiat yang berakibat pada rumah tangga yang tidak bahagia.
2. Pihak yang tidak bersalah dan menderita berhak mengajukan cerai dan meminta ganti rugi yang layak dari pihak lain.
3. Pihak yang tidak bersalah dan menjadi miskin berhak mengajukan cerai dan meminta nafkah dari pihak lain selama setahun.
2. Pembaharuan Hukum Islam di Negara Malaysia
Pembaharuan hukum Islam (fiqih) di Malaysia secara garis besar dapat dibagi menjadi dua kelompok pemikiran; tradisional dan modern. Ciri utama pemikiran fiqih tradisional di Malaysia adalah bersandar pada madzhab ahlus-Sunnah wal-Jamaah, atau lebih khusus bertaklid pada madzhab Syafi’i. jika merujuk kitab-kitab ushul fiqh karangan ulama tradisional, jelas sekali tekanannya agar bertaklid pada madzhab yang empat, khususnya madzhab Syafi’i. Kitab-kitab yang menjadi rujukan para ulama tradisional sebenarnya tidak merujuk pada karya-karya Imam Asy-Syafi’I an sich, tetapi pada karya ulama Syafi’iyah. Kelompok tradisionalis ini berpuas hati pada kitab Al-Muhazzab (Ash-Shirazi), Fath al-Wahhab (Zakaria Al-Anshari), Tuhfat Al-Muhtaj (Ibn Hajar Al-Haitami), Nihayat Al-Muhtaj (Syamsudin Ar-Ramli). Mughni Al-Muhtaj (Ibnu Khatib Ash-Sharbini), Fath Al-Mu’in (Zainudi bin Abdul Aziz al-Malibari) dan Al-Ghayat wat-Taqrib (Al-Asfahani). Bukan karya-karya Imam Syafi’i, seperti Ar-Risalah atau Al-Um.
Akibat sumber pengambilan ini, pemikiran fiqh yang berkembang tidak lagi dalam bentuk asli seperti digariskan oleh Imam Asy-Syafi’i. contoh yang terkenal ialah mengadakan dua kali adzan pada shalat jum’at di Mlaysia, padahal Imam Asy-Syafi’I hanya sekali adzan.
Sejak diawalinya tradisi pemikiran fiqh di Nusantara oleh syekh Nuruddin Ar-Raniri dengan kitabnya Sirath Al-Mustaqim yang kemudian disempurnakan Syekh Muhammad Arshad bin Abdullah Al-Banjari dengam kitabnya Sabil Al-Muhtadin. Bahasan persoalan ibadah lebih dominan. Begitu besarnya perhatian terhadap bidang ini sehingga apabila membahas ilu fiqh seolah-olah hany menyangkut masalah ibadah. Namun demikian tidak berarti bidang-bidang fiqh yang lain diabaikan sama sekali. Sesuai dengan madzhab Syafi’I selain aspek ibadah, ada tiga aspek lain yang disentuh, yaitu munakaht, muamalat dan jinayat. Totkoh pertama yang membahas persoalan ini ialah Syekh Abdul Rauf Fansuri. Menurut Dr. Peunoh Daly, kedua-duanya seolah yelah melakukan pembagian tugas; fiqh ibadah ditulis oleh Ar-Raniri. Sedangkan yang lain-lainnya ditulis oleh Abdul Rauf Fansuri. Dengan pembagian tugas ini, ilmu fiqh lengkap dituli di Aceh sejak abad ke-17 M.
Mengenai hukum munakahat, perkara yang dibahas adalah pertunangan, perkawinan, hak dan kewajiban suami-istri, seperti nfkah dan hadhanah serta perceraian dan rujuk. Adapun bidang muamalat, menyengkut masalah sosio ekonomi, seperti riba, khiyar, jual-beli, jual saham, mufis, berutang, gadai, suih, biwlah, berwakil, iqrar, qadi’ah, luqatah, mengupah, sew, dhaman, ariyah, mati, wakaf, dan lain-lain. Termsuk dalam persoaln ini adalah hukum farid atau pembagian pusaka, ahli waris, kadar masing-masing, pendinding, sisa harta, wasiat, dan sebagainya.
Bidang jinayat atau ‘uqubat membicarakan tiga jenis hukum, yaitu hudud, qiyas dan ta’zir. Hudud adalah hukuman-hukuman yang sudah ditentukan oleh syara’, seperti hukum berzina, mencuri, murtad dan durhaka. Hukuman qisyas adalah hukum balas –bunuh bagi kesalahan membunuh atau membayar diat sebagai ganti rugi adapun hukuman ta’zir adalah hukuman-hukuman lain yang tidak diterangkan dengan jelas oleh syara, tetapi ditetapkan menurut kebijaksanaan hakim.
Jika dikaji secara kritis, terdapat dua masalah yang patut derhatikan. Pertama, walaupun lingkupnya agak luas, fiqh tradisional tidak membahas bidang siyasah (politik). Sebenarnya dalam pemikiran Islam klasik terdapat karya-karya fiqh siyasah dan juga akhlak siyasah. Akan tetapi, karya-karya fiqh politik tidak mempunyai pemgaruh di Nusantara atau Malaysia. Sebaliknya yang berpengaruh adalah karya-karya akhlak politik. Kalaupun ada aspek politik disentuh, ia lebih menekankan kedudukan rakyat yang harus menaati pemerintah atau sultan. Sejajar dengan sistem feodalisme yang mementingkan sikap ‘unquestioning loyalty’ atau ketaatan tanpa reserve, membuka tuli, atau monoloyalitas di kalangan rakyat.
Kedua, meskipun di dlam kehidupan umat Islam berpedoman pada hukum-hukum fiqih, dalam banyak hal masih berkompromi dengan hukum adat atau tradisi. Terutama dalam adat perkawinan Melayu umumnya. Dan adat pembagian pusaka di Negeri Sembilan khususnya, terlihat kompromi yang sangat mencolok.
Dalam konteks Malaysia, aliran ini lebih memberi perhatian pada ilmu fiqih dan tasawuf. Perhatian pada ilmu fiqih pun terkonsentrasi pada aspek-aspek tertentu saja. Sementara itu, ilmu tauhid tidak banyak dibincangkan meskipun mendahului fiqih dari segi keutamaannya.
Adapun golongan reformis, mereka berpedoman bahwa sumber utama hukum Islam ialah Al-quran dan Sunnah. Bahkan tuntutan kembali pada Al-quran dan Sunnah merupakan motto perjuangan yang mendasar. Itulah sebabnya, mereka menamakan diri sebagai AhlusSunnah wal Jamaah (di Pelis), Ansar As-Sunnah (di Malaka), atau Ittiba’us-Sunnah (di Negeri Sembilan)dan berbagai nama lain yang bermuatan makna sebagai pendukung Sunnah. Misalnya Syekh Abu Bakar Al-Anshari, dalam karyanya pada 1937 telah menekankan agar senantiasa merujuk pada AlQuran dalam menangani masalah-masalah agama.
Kaum reformis memandang kritis terhadap sumber-sumber selain Al-Quran dan Sunnah, misalnya ijma dan qiyas. Khusus tentang ijma dan qiyas, mereka menyarankan agar diterima secara berhati-hati karena pemikiran manusia dapat menimbulkan kebimbangan dalam urusan agama.
Akibat sikp hati-hati tersebut, golongan reformis pada hakikatnya menolak sikap taklid pada madzhan dan para ulama. Oleh karena itu, sebaian pengkaji menggelari mereka “laa madzhabiyah” (yang menolak madzhab). Dengan menolak taklid, mereka sebenarnya menggalakan ijtihad, yakni usaha besungguh-sungguh untuk memperoleh suatu hukum dengan merujuk keterangannya dari Al-Quran dan As-Sunnah. Inilah ciri kedua pemikiran reformisme, yaitu menganjurkan ijtihad dan menentang taklid.
Pada umumnya perkmbangan pemikiran yang menggalakkan ijtihad dan melarang taklid memenuhi ruang surat kabar dan majalah melayu pada 1920 hingga 1930-an. Tokoh reformis yang cukup vokal menyuarakan isu ini adalah Rahim Kajai. Penolakan madzhab dan penentangan terhadap taklid di Mlaysia banyak dikaitkan dengan A. Hassan, tokoh reformis dari Persatuan Islam (Persis), Bandung. Pengaruh Persis di Malaysia berkembang melalui majalah-majalah terbitannya, dan yang lebih penting, melalui karya-karya A.Hassan sendiri yang sebagian dicetak di Malaysia.
Di Perlis, isu penolakan mazhab dan penentangan taklid bergema dengan lantang melalui tokoh reformis, Syekh abu Bakar Al-Anshari. Puncak perjuangan mereka terwujud ketika pada 1959 dan 1964 ditetapkan aliran “Ahlu Sunnah wal-Jamaah” sebagai pegangan resmi dalam Undang-Undang Tubuh negeri Perlis. Artinya perlis hanya berpegang pada ajaran Al-Quran dan Sunnah, bukan pada mazhab.
Paham liberal terhadap mazhab juga terdapat di kalangan tokoh- tokoh baru, di Kelantan misalnya, Datuk Yusuf Zaky Yakoob yang dikenal sebagai tokoh yang terbuka. Dia adalah anak Haji Yakoob Haji Ahmad Gajah Mati yang juga berpaham terbuka. Bagi Datuk Yusuf, ijtihad perlu digerakkan mengingat tersedianya berbagai perlengkapan dan kemudahan pada zaman modern ini. Menurutnya, sudah saatnya memulai perkembangan pemikiran Islam yang tidak terkungkung pada satu mazhab, karena persoalan-persoalan yang timbul pada zaman modern tidak mampu diatasi hanya dengan pemikiran mazhab Syafi’i. sisa-sisa Undang-Undang penjajah tahun 1904 dan 1925 yang bertujuan melenyapkan dinamika pemikiran Islam harus dihapuskan.
Tokoh yang paling lantang menyuarakan isu kebebasan bermazhab adalah Haji Hasim Abdul Ghani, pemimpin Ittiba’us Sunnah dari Kuala Pilah, Negeri Sembilan. Mnurutnya, menganut suatu mazhab adalah haram karena itu kita wajib keluar darinya. Pernyataan yang berani itu telah mengundang kritik tajam dari kalangan tradisionalis. Akan tetapi, sebagai tokoh yang agresif, kritik tersebut segera dijawab oleh Hashim Abdul Ghani.
Demikianlah, seperti telah ditegaskan sebelumnya, walaupun fiqh Islam meliputi munakahat, muamalat, jinayat, dan sebagainya, isu-isu yang mendominasi pemikirn golongan reformis pada umumnya masih berkisar pada masalah ibadah. Kalau dapat dinamakan ijtihad, ijtihad mereka hanya terfokus pada aspek yang tidak menyangkut masalah ekonomi dan sosial umat Islam pada umumnya. Kedua kelompok ini, secara organisatoris, dapat ditemukan pada ABIM (Angkatan Belia Islam Malaysia) sebagai kelompok reformis/modernis dan PAS sebagai kelompok tradisionalis yang dihuni oleh ulama tua tradisional walaupun pengategorian ini tidak secara mutlak.
E. Persamaan dan Perbedaan Hukum di Turki dan Malaysia
Berbagai persamaan hukum yang berlaku di antara kedua Negara tersebut adalah terutama terletak pada hukum materil yang secara normative memang telah diatur secara tegas dalam Al-Qur’an dan Hadits. Telah diketahui bahwa tidak ada satu pun Negara Islam atau Negara berpendudk muslim yang mengingkari kedudukan Al-Qur’an dan Hadits masing-masing sebagai sumber hukum Islam yang pertama dan kedua.
Masih dalam konteks persamaan hukum terutama dalam undang-undang perkawinan Islam di Dunia Islam, ialah berkenaan dengan asas-asas atau prinsip-prinsip yang ditekankan dalam undang-undang perkawinan, yakni asas sukarela, asas partisipasi keluarga, asas mempersulit perceraian, asas monogamy, asas kematangan (kedewasaan) calon mempelai, asas memperbaiki (meningkatkan) derajat perempuan dan asas legalitas dan bahkan asas selektivitas.
Sedangkan perbedaan-perbedaan yang dijumpai dalam hukum dan terutama undang-undang perkwainan Islam di Dunia Islam lebih banyak terdapat pada hal-hal yang bersifat teknis administratif. Di antaranya berkenaan dengan soal penentuan batas usia kawin (nikah). Undang-undang perkawinan Islam di Dunida Islam memang berbeda-beda dalam menentukan batas minimal usia kawin. Batas usia nikah di Turki yaitu 17 tahun (laki-laki) dan 15 (perempuan), sedangkan di Malaysia yaitu 18 tahun (laki-laki) dan 16 tahun (perempuan); dan penanggulangan praktik poligami.
Di antara faktor penyebab perbedaannya ialah ditentukan karena adanya perbedaan mazhab fiqih yang dianut masing-masing masyarakat muslim Negara tersbut. Di Turki, mazhab utama yang dianutnya adalah mazhab Hanafi, namun dalam pembentukan hukum keluarga yang termuat dalam Majallah al-ahkam al adhiya, demi kepentingan umat Islam dan menjunjung tinggi nilai keadilan, peraturan tersebut tidak hanya mengambil pendapat dari mazhab Hanafi akan tetapi juga dari mazhab Hambali dan Maliki. Sedangkan di Malaysia, mazhab yang dianut mayoritas umat Islam adanya mazhab Syafi’i.
Faktor penyebab perbedaan lainnya adalah adanya ketidaksamaan sistem hukum yang dianut oleh kedua Negara tersebut. Turki adalah salah satu negara Islam yang tidak pernah dijajah, selain Arab Saudi. Sistem hukum di Turki pada awal pembentukannya hanya mengambil dari pendapat mazhab yang dianutnya, namun seiring berjalannya waktu, Turki juga banyak mengadopsi dari Perancis dan Itali.
Sedangkan dalam Negara Malaysia, Islam adalah merupakan agama negara sehingga dengan demikian hukum Islam dijadikan sebagai hokum Negara. Namun setelah Malaysia dijajah oleh Inggris, sistem regulasi terjadi perubahan di mana bentuk dan peraturan lokal yang berhubungan dengan praktek hukum Islam seperti pengadilan syari’ah tentang perkawinan, perceraian dan kewarisan mengikuti model Inggris. Namun setelah Malaysia merdeka dan pemerintahan Malaysia berbentuk federal 1963, telah banyak usaha untuk merespon masyarakat untuk membuat Undang-Undang Hukum Keluarga seperti di Negara bagian Johor dan Trengganu yaitu Administrasi Undang-Undang Hukum Islam dan juga negara bagian lainnya.
F. Penutup
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa Negara Turki dan Malaysia sama-sama memegang prinsip syari’ah dan juga membentuk Qanun (undang-undang) Negara dalam pemerintahannya.
Adapun menyangkut pembaharuan hukum, Hukum keluarga di Turki telah mengalami beberapa kali perubahan. Hukum tentang hak-hak keluarga tahun 1917 (The Ottoman Law of Family Rights / Qanun al-huquq al-Aila) diperbarui dengan Hukum Perdata Turki Tahun 1926 (Turkish civil code, 1926), kemudian diamandemen dua kali, tahapan tahun 1933-1956 dan tahun 1988-1992. Materi pembaruan hukum keluarga dalam masalah perceraian seputar persamaan hak dalam pengajuan perceraian antara suami istri dan alasan-alasan yang dijadikan dasar perceraian. Metode pembaruan yang diterapkan dalam masalah perceraian adalah maslahah mursalah. Walaupun begitu extra dan intra doctriner reform cukup mewarnai dinamika pembaruan hukum keluarga di Turki.
Sedangkan di Malaysia, Adanya ketentuan memberi tahu bagi laki-laki apabila ingin menikah lagi tentang pernikahan sebelumnya kepada calon pengantin wanita kedua dan harus adanya perizinan dari pengadilan, serta ketentuan izin tertulis dari istri pertama sebagai hal yang mutlak bagi suami yang ingin menikah lagi pada perkawinan kedua dan pembentukan berbagai sanksi bagi pelanggar ketentuan poligami diatur dalam perundangan. Adapun metode atau argumentasi yang dipakai oleh perundangan Malaysia yaitu memakai metode secara normatif terhadap teks-teks al Qur'an walaupun dengan penafsiran sosiologis yang relevan dengan konteks sekarang. Demikian pula, mendasarkan pada siyasah syar'iyyah berupa adanya sangsi denda dan pidana bagi mereka yang melanggar atau persyaratan administratif izin poligami dengan persetujuan isteri sebelumnya. Argumentasi lain berupa pemikiran madzhab dengan metode penemuan hukum Islam melalui maslahah dan sadd zari’ah. Juga dilakukan secara komulatif merangkai dalil normatif dan metodologis (sadd Zariah dan Maslahah).
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Rahman Haji Abdullah, Pemikiran Islam di Malaysia, (Jakarta: Gema Insani Press, t.t.).
Ahmad Al-Usairi, At-Tarikh al-Islami (alih bahasa Samson Rahman, ‘Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX), (Jakarta: Akbar Medi Eka Sarana, 2003)
Dedi Supriyadi, Sejarah Hukum Islam, (Bandung: Psutaka Setia, 2007).
http//www.id.wikipedia.org/wiki/Turki
http://www.id.wikipedia.org/wiki/Malaysia
Fazlur Rahman, Islam, Alih bahasa Ahsin Mohammad, (Bandung: Pustaka, 2000).
Fred R. Von der Mehden, Kebangkitan Islam di Malaysia, dalam John L. Esposito (Ed), Kebangkitan Islam pada Perubahan Sosial, (Jakarta: Bulan Bintang, 1980)
________________, Religion and Modernization in Southeast Asia, (New York: Syracuse University Press, 1986).
J.N.D. Anderson, Hukum Islam di Dunia Modern, alih bahasa Machnun Husein (Surabaya: Amar Press, 1990)
John. L. Esposito, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam, alih bahasa Eva Yn. dkk. (Bandung: Mizan, 2001).
Imam As-Soouti, “Tokku Paluh; Mendidik Murid-Muridnya Dengan Ilmu Thariqat”, dalam Mingguan Islam, 8 januari 1988.
Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara, Sebuah Studi Perbandingan Hukum Keluarga Indonesia dan Malaysia, (Jakarta-Leiden: INIS, 2002).
M. Yusron Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Islam (Jakarta:LSIK dan Raja Grafindo Persada, 1995).
Maek S.W. Hoyle, The Status of Women Under Islamic Law and Under Modern Islamic Legislation, (Boston: Graham Trotman, 1990).
Moenawar Kholil, Kembali Kepada Al-Quran dan As-Sunnah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1986).
Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), hal. 203.
Muhammad Iqbal, Fiqih Siyasah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001).
Noel J. Coulson, Hukum Islam dan Perspektif Sejarah, Alih bahasa Hamid Ahmad, (Jakarta: P3M, t.t.), hal. 178.
Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988).
Tahir Mahmood, Family Law Reform in the Moslem World (Bombay: N.M.Tripathi PVT. LTD, 1 972).
_______________, Status of Personal Law in Islamic Countries: History, Texts and Analysis , Revised Edition (New Delhi: ALR, 1 995).
_______________, Personal Law In Islamic Countries, Academic of Law an religion, (New Delhi: Academy of Law and Religion, 1987).
Selasa, 09 Desember 2008
Langganan:
Postingan (Atom)